21/11/11

Permasalahan Batas Wilayah Laut Pedra Branca

Penetapan garis pangkal perairan kepulauan (archipelagic waters) Indonesia di utara dan timur Pulau Bintan pada dasarnya sudah tidak menjadi persoalan lagi.

Daftar-daftar koordinat terakhir dari garis-garis pangkal Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 47 (9) Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS), telah didaftarkan di Sekretariat PBB tanggal 4 Maret 2009 dan oleh PBB telah diedarkan ke seluruh dunia.

Di samping itu, sudah ada garis perbatasan laut teritorial antara Indonesia dan Singapura sejak tahun 1973. Ke sebelah barat dari garis batas 1973 ini, Indonesia dan Singapura juga sudah menyetujui perpanjangannya dengan perjanjian tanggal 10 Maret 2009 dan telah diratifikasi oleh DPR RI dengan UU No 4/2010 tanggal 20 Juni 2010.

Perjanjian Indonesia-Singapura 1973 menentukan enam titik perbatasan yang ke sebelah timurnya berakhir sekitar antara Pulau Batam dengan sekitar Changi Airport.

Persetujuan Indonesia-Malaysia tentang Batas Landas Kontinen di Laut China Selatan yang berhenti sekitar 12 mil dari pantai masing-masing di Johor dan Bintan sebelum mencapai batu karang Pedra Branca.

Jadi, antara titik paling timur Perjanjian Indonesia Singapura 1973 dan titik paling barat Persetujuan Indonesia-Malaysia tentang Batas Landas Kontinen memang belum ada persetujuan tentang garis batas maritim. Persoalan terutamanya adalah ada konflik teritorial antara Malaysia dan Singapura mengenai kelompok batu karang Pedra Branca (Batu Putih) yang terletak di mulut Laut China Selatan sebelum memasuki Selat Singapura.


Kelompok Pedra Branca, terdiri dari tiga batu karang yaitu :

  • Pedra Branca, batu karang terbesar yang paling utara berhadapan dengan Johor luasnya kira-kira 8.560 meter persegi pada waktu pasang surut. Panjangnya adalah kira-kira 137 meter dan lebarnya sekitar 60 meter. Letaknya kira-kira 24 mil laut di sebelah timur Singapura, 7,7 mil laut dari Johor, 7,6 mil laut dari Pantai Pulau Bintan. Di batu karang tersebut Inggris/Singapura sudah sejak lama membangun fasilitas pelayaran (mercu suar) dan lapangan helikopter.

  • Middle Rocks, terletek 0,6 mil di sebelah selatan dari Pedra Branca yang terdiri dari tumpukan dua batu karang kecil yang terpisah satu sama lain sekitar 250 meter. Tingginya antara 0,6 dan 1,2 meter di atas permukaan air pada waktu pasang naik.

  •  South Ledge, yang paling selatan adalah  sebuah batu karang yang kelihatan pada waktu pasang surut (low tide elevation). Letaknya 1,7 mil sebelah selatan Middle Rocks dan 2,2 mil laut di barat daya Pedra Branca.



Malaysia dalam peta lautnya tahun 1979 memasukkan kelompok Pedra Branca dalam laut teritorialnya yang diprotes oleh Singapura dan tidak diakui oleh Indonesia. Setelah melalui proses yang lama, Malaysia dan Singapura akhirnya membawa persoalan tersebut ke Mahkamah Internasional di Den Haag. Indonesia tidak pernah mengklaim Kelompok Pedra Branca sebagai bagian dari titik pangkalnya walaupun jaraknya kurang dari 12 mil dari Bintan.

Mahkamah Internasional dalam bulan Mei 2008 memutuskan bahwa Pedra Branca adalah milik Singapura, Middle Rocks milik Malaysia dan South Ledge adalah milik negara di laut teritorial dimana batu karang South Ledge itu berada. Persoalannya adalah dengan siapa Indonesia harus berunding mengenai penentuan garis batas laut teritorial di daerah tersebut, dengan Malaysia atau dengan Singapura?

Hal itu tetap tidak jelas sampai sekarang. Kedua,apa hak “maritime zone” ketiga batu karang tersebut? Dalam ketentuan Hukum Laut ada Pasal 121:3 yang mengatakan bahwa ”rocks yang can not sustain human habitation or economic life of their own, tidak berhak atas zone ekonomi dan continental shelf.”


Tidak jelas apakah rocks tersebut berhak atas laut teritorial Dalam Konvensi Hukum Laut ada ketentuan tentang artificial islands, installations, and structures di ZEE dan landas kontinen yang hanya berhak atas “safety zone”di tengah laut, yaitu sampai maksimum 500 meter di sekeliling instalasi tersebut (Pasal 60:4 dan Pasal 80 UNCLOS).

Ada gejala bahwa Singapura berpendapat bahwa rocks di Pedra Branca itu pun bukan hanya mempunyai laut teritorial 12 mil tapi juga berhak atas ZEE dan landas kontinen.Tentunya itu akan membuat masalahnya menyangkut Indonesia pula karena keinginan Singapura tersebut bisa pula mempengaruhi laut teritorial, ZEE dan landas kontinen Indonesia.

Memperhatikan sikap Indonesia dalam permasalahan Sipadan- Ligitan, maka pulau-pulau yang sangat kecil yang berhadapan dengan daratan yang sangat luas tidak bisa disamakan haknya dan karena itu tidak perlu harus merupakan garis tengah dan sama jarak. Mengingat kecilnya ketiga batu karang itu, kiranya Indonesia akan sulit menerima prinsip sama jarak antara ketiga titik itu dengan Pulau Bintan.

Tentunya Indonesia akan berpegang kepada prinsip sama jarak antara Johor dan Pulau Bintan dengan menganggap kedudukan Pedra Branca sebagai “special circumstances”. Paling-paling Pedra Branca diberi hak “safety zone” 500 meter mengingat di atas Pedra Branca sudah ada mercu suar dan lapangan helikopter. Karena itu, garis batas laut teritorial Indonesia di utara Pulau Bintan harus diukur kira-kira sama jarak antara Bintan dan Johor.

Tripartit

Pembicaraan antara kedudukan Pedra Branca dalam soal penentuan batas laut teritorial ini kiranya akan perlu dijajaki dalam konteks tripartit (Indonesia-Malaysia- Singapura), apalagi setelah putusan Mahkamah Internasional mengenai Pedra Branca. Sementara itu, penentuan garis batas laut teritorial antara Indonesia (Batam-Bintan) dengan Singapura (Changi) dan Malaysia (Johor) juga perlu dilakukan menuju ke timur dari titik paling timur Perjanjian Indonesia – Singapura 1973 sampai ke dekat Pedra Branca.

Tentunya garis batas laut teritorial Indonesia ke timur dari Pedra Branca juga harus ditetapkan sampai ke titik paling barat dari persetujuan Indonesia-Malaysia tentang batas landas kontinen. Memperhatikan hal-hal di atas, maka kiranya peristiwa Tanjung Berakit yang baru lalu antara Indonesia dan Malaysia kiranya jelas terjadi dalam batas laut teritorial Indonesia, baik jika diukur dari ketiga karang Pedra Branca ataupun garis tengah antara Pantai Johor dengan garis pangkal perairan kepulauan Indonesia di daerah tersebut.

Dengan demikian, maka sangat wajarlah jika Indonesia memprotes tindakan Malaysia, apalagi memprotes perlakuan Malaysia terhadap pejabat/petugas resmi Indonesia di laut.Keras lunaknya protes tersebut tentu perlu memperhatikan hubungan antara kedua negara, termasuk kerja sama Indonesia- Malaysia-Singapura selama 40 tahun terakhir dalam pengelolaan keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan laut di Selat Malaka-Selat Singapura.

Indonesia juga perlu melanjutkan usahanya yang telah dimulai sejak lebih dari 40 tahun yang lalu untuk menetapkan berbagai batas maritim antara Indonesia dengan tetangganya, baik batas laut teritorial maupun ZEE, dan penyelesaian masalah-masalah perbatasan lainnya.Batas yang jelas dan disepakati antara tetangga/negara akan dapat meningkatkan hubungan dan kerja sama; sebaliknya batas yang tidak jelas akan menimbulkan kerancuan-kerancuan.

Akhirnya, peristiwa Tanjung Berakit ini sepatutnya dapat meningkatkan perhatian kita untuk memperkuat unsur-unsur penegakan hukum dan kedaulatan Indonesia di laut. Baik dengan menambah ataupun meningkatkan kemampuan peralatan maupun teknologi pengamanan, pertahanan dan pengelolaan laut, antara lain dengan meningkatkan porsi anggaran untuk maksud-maksud tersebut.

(Prof Dr Hasjim Djalal MA – Pakar Hukum Laut)