Ketika Republik Indonesia diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, wilayah negara adalah tinggalan Hindia Belanda, dan belum menjadi negara kepulauan. Menurut Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939, maka batas laut teritorial Indonesia adalah 3 mil laut dari pantai.
Dengan demikian maka perairan antar pulau pada waktu itu adalah wilayah internasional. Wilayah laut kita dengan rezim hukum laut seperti disebut di atas hanyalah seluas kira-kira 100.000 km2. Secara fisik pulau-pulau Indonesia dipisahkan oleh laut, walaupun secara kultur konsep kewilayahan kita tidak membedakan penguasaan antara laut dan darat. Bangsa Indonesia adalah satu-satunya bangsa di dunia yang menamakan wilayahnya sebagai tanah air.
Pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah RI melalui deklarasi Perdana Menteri Ir. Djuanda mengklaim seluruh perairan antar pulau di Indonesia sebagai wilayah nasional. Deklarasi di atas yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda, adalah pernyataan jati diri sebagai negara kepulauan, di mana laut menjadi penghubung antar pulau, bukan pemisah.
Klaim ini bersamaan dengan upaya memperpanjang batas laut teritorial menjadi 12 mil dari pantai, kemudian diperjuangkan oleh Indonesia untuk mendapat pengakuan internasional di PBB, suatu perjuangan panjang yang meliwati 3 rezim politik yang berbeda yaitu Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru.
Kendati prinsip negara kepulauan mendapat tentangan dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat, akhirnya pada tahun 1982 lahirlah Konvensi kedua PBB tentang Hukum Laut (2nd United Nations Convention on the Law of the Sea, disingkat UNCLOS) yang mengakui konsep negara kepulauan, sekaligus juga mengakui konsep Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang diperjuangkan oleh Chili dan negara-negara Amerika Latin lainnya.
Setelah diratifikasi oleh 60 negara maka UNCLOS kemudian resmi berlaku pada tahun 1994. Berkat perjuangan yang gigih dan memakan waktu, Indonesia mendapat pengakuan dunia atas tambahan wilayah nasional sebesar 3,1 juta km2 wilayah perairan dari hanya 100.000 km2 warisan Hindia Belanda, ditambah dengan 2,7 juta km2 Zone Ekonomi Eksklusif yaitu bagian perairan internasional dimana Indonesia mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya alam termasuk yang ada di dasar laut dan di bawahnya.
Konsep Negara Kepulauan (Nusantara) memberikan kita anugerah yang luar biasa. Letak geografis kita strategis, di antara dua benua dan dua samudra dimana paling tidak 70% angkutan barang melalui laut dari Eropa, Timur Tengah dan Asia Selatan ke wilayah Pasifik, dan sebaliknya, harus melalui perairan kita. Wilayah laut yang demikian luas dengan 17.500-an pulau-pulau yang mayoritas kecil memberikan akses pada sumber daya alam seperti ikan, terumbu karang dengan kekayaan biologi yang bernilai ekonomi tinggi, wilayah wisata bahari, sumber energi terbarukan maupun minyak dan gas bumi, mineral langka dan juga media perhubungan antar pulau yang sangat ekonomis.
Panjang pantai 81.000 km (kedua terpanjang di dunia setelah Canada ) merupakan wilayah pesisir dengan ekosistem yang secara biologis sangat kaya dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Secara metereologis, perairan nusantara menyimpan berbagai data metrologi maritim yang amat vital dalam menentukan tingkat akurasi perkiraan iklim global. Di perairan kita terdapat gejala alam yang dinamakan Arus Laut Indonesia (Arlindo) atau the Indonesian throughflow yaitu arus laut besar yang permanen masuk ke perairan Nusantara dari samudra Pasifik yang mempunyai pengaruh besar pada pola migrasi ikan pelagis dan pembiakannya dan juga pengaruh besar pada iklim benua Australia.
****
SAYANGNYA keuntungan yang luar biasa di atas sebagai konsekuensi jati diri bangsa nusantara tidak disertai dengan kesadaran dan kapasitas yang sepadan. Bangsa Indonesia masih mengidap kerancuan identitas. Di satu pihak mempunyai persepsi kewilayahan tanah air, tetapi memposisikan diri secara kultural sebagai bangsa agraris dengan puluhan juta petani miskin yang tidak sanggup kita sejahterakan, sedangkan kegiatan industri modern sulit berkompetisi dengan bangsa lain, antara lain karena budaya kerja yang berkultur agrarian konservatif, disamping berbagai inefisiensi birokrasi dan korupsi.
Industri pun kita bangun tidak berdasar pada keunggulan kompetitif namun pada keunggulan komparatif, tanpa kedalaman struktur dan tanpa masukan keilmuan dan teknologi yang kuat. Tradisi kepelautan kita dinyatakan dengan kemampuan melayari Samudra Pasifik dengan kapal Pinisi Nusantara dan selamat sampai Vancouver, tapi kapal yang sama pecah dan tenggelam menabrak karang di Kepulauan Seribu dalam perjalanan lokal yang sederhana.
Di zaman Bung Karno Angkatan Laut kita pernah menjadi keempat terbesar di dunia setelah Amerika Serikat, Uni Soviet dan Iran. Tetapi kekuatan itu tidak riel dan hanya temporer karena tidak dibangun atas kemampuan sendiri, namun karena bantuan Uni Soviet dalam kerangka permainan geopolitik.
Selama itu, berbagai rencana di bidang kelautan dan kemaritiman dibuat dan dideklarasikan namun kelembagaan kelautan, pembangunan perekonomian maritim dan pembangunan sumber daya manusia tidak pernah dijadikan arus utama pembangunan nasional, yang didominasi oleh persepsi dan kepentingan daratan semata. Dewan Kelautan Nasional memang dibuat tetapi dengan mandat terbatas dan menduduki hirarki yang tidak signifikan dalam kelembagaan pemerintahan.
Segala paradoks tadi terus menerus memunculkan gugatan demi gugatan yang makin nyaring dari masyarakat kelautan kita yang kemudian menciptakan kelembagaan berupa Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 1999 dan juga Dewan Maritim Indonesia pada tahun yang sama, dengan ruang lingkup tugas yang lebih luas dibandingkan dengan Dewan Kelautan Nasional di zaman Orde Baru.
Mudah-mudahan era presidensi Susilo Bambang Yudhoyono merupakan titik balik menentukan dalam kehidupan maritim kita. Melalui Inpres 5 tahun 2005 “asas cabotage” dihidupkan kembali. [“asas cabotage” adalah prinsip hukum yang dianut oleh sebagian besar negara maritim dunia yang menyatakan bahwa angkutan di dalam suatu negara hanya dapat diangkut oleh kapal yang berbendera dari negara yang bersangkutan —Red]. Demikian juga otoritas moneter telah menetapkan kapal sebagai benda yang boleh diagunkan. Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) sedang dalam penyusunan termasuk visi maritim didalamnya, seiring dengan langkah-langkah konkrit lanjutan menyangkut industri strategis dan kelembagaan pelabuhan.
Perlu diterangkan bahwa antara istilah kelautan dan maritim harus dibedakan. Kelautan merujuk kepada laut sebagai wilayah geopolitik maupun wilayah sumber daya alam, sedangkan maritim merujuk pada kegiatan ekonomi yang terkait dengan perkapalan, baik armada niaga maupun militer, serta kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan itu seperti industri maritim dan pelabuhan. Dengan demikian kebijakan kelautan merupakan dasar bagi kebijakan maritim sebagai aspek aplikatifnya.
Terlepas dari rumusan final visi maritim Indonesia, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Antara lain, pertama, negara perlu mempunyai kebijakan kelautan yang jelas dan bervisi ke depan karena menyangkut geopolitik bangsa dan dengan demikian berwawasan global dan menyangkut pula kebijakan-kebijakan dasar tentang pengelolaan sumber daya alam di samping sumber daya ekonomi pada umumnya. Demi daya saing bangsa kita perlu berangkat dari keunggulan kompetitif yang bisa berbasis lokal.
Kedua, kebijakan kelautan adalah kebijakan negara kepulauan sehingga variabel keruangan harus lengkap, tidak hanya monodimensional laut. Konsep tri-matra (darat-laut-udara), karena kemajuan ilmu dan teknologi serta peningkatan kesadaran lingkungan hidup menjadi tidak lengkap untuk sekarang dan masa depan. Yang lebih mengena adalah variabel multi-matra (darat termasuk pegunungan; permukaan air dari mata air di hulu sampai permukaan laut; kolom air di sungai, danau maupun laut; pesisir; dasar laut; bawah dasar laut; atmosfir; stratosfir dan angkasa luar), jumlahnya 9 matra. Sejak Presiden Soeharto meluncurkan satelit Palapa pada dekade 1970-an sebenarnya kita telah masuk ke era ruang angkasa, tidak sekedar tri-matra, demikian juga sekarang ketika kita mulai merentang kabel telekomunikasi bawah laut, masuk ke matra dasar laut. Tetapi tetap saja kita menggunakan tri-matra sebagai acuan keruangan, mungkin karena terlanjur menjadi manusia penghafal.
Sesuai kemampuan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik yang lebih kompleks, serta kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi tentunya variabel keruangan bisa dikembangkan. Dengan demikian kebijakan kelautan bukanlah pengganti kebijakan masa lampau yang terkesan kuat dominan berorientasi daratan.
Ketiga, hirarki ruang juga perlu ditentukan, yaitu ruang di mana kita berdaulat penuh, ruang di mana kita punya hak berdaulat, dan ruang di mana kita perlu punya pengaruh baik eksklusif maupun melalui kerjasama politik, ekonomi dan pertahanan.
Keempat, pemerintah perlu menuntaskan seluruh kewajiban yang tercantum dalam UNCLOS, karena penting artinya bagi effektifitas kedaulatan kita. Adalah ironis bahwa Indonesia sebagai pelopor konsep negara kepulauan lantas nantinya tertinggal dalam pengamanan kedaulatan wilayahnya. Sekiranya hal ini terjadi maka posisi kita secara geopolitik akan lemah, serta memicu berbagai sengketa di wilayah laut yang sulit kita atasi, apalagi dengan kekuatan militer maritim yang demikian kecil. Peristiwa Sipadan/Ligitan dan peristiwa Ambalat merupakan peringatan dini terhadap kemungkinan masalah lebih besar di kemudian hari.
Kelima, kalau semua hal di atas sudah jelas arahnya, maka visi maritim dapat dibangun dan kekuatan maritim dapat dibangkitkan sepadan dengan tuntutan geopolitik bangsa dan sesuai dengan persepsi keruangan kita dan juga persepsi tentang keunggulan kompetitif baik yang berbasis sumber daya alam, budaya, ilmu pengetahuan maupun geografi. Kebijakan perkapalan, pelabuhan, transportasi antar matra, prioritas kegiatan ekonomi, pembangunan angkatan bersenjata (militer dan polisi), kebijakan fiskal, kebijakan investasi, kebijakan enersi, kebijakan dirgantara, kebijakan pembangunan daerah dan kawasan serta tatanan kelembagaan dan kebijakan pembangunan sumber daya manusia merupakan turunan dari visi maritim dan visi maritim juga adalah turunan dari kebijakan kelautan.
****
SETELAH semua itu selesai dan dirumuskan secara baik, kita mempunyai soal berikut, yaitu mewujudkannya dalam implementasi. Banyak hal yang mempengaruhi implementasi visi dan kebijakan maritim namun akar masalahnya berada dalam budaya agraris tradisional yang kita warisi.
Masyarakat agraris tradisional di pedalaman cenderung statis, introvert dan feodal. Berlainan dengan budaya pesisir yang lebih terbuka dan egaliter serta biasa memanfatkan pengaruh luar karena interaksi niaga antar bangsa. Komunitas pesisir menjadi lemah di masa lampau karena tidak adanya persepsi bersama menghadapi merkantilisme Eropa sehingga kerajaan-kerajaan pesisir hancur ditaklukkan, menghadapi tekanan dari kolonialisme dan juga serangan dari pedalaman.
Dengan demikian budaya yang dominan adalah budaya agraris tradisional, yang antara lain ditandai sampai sekarang oleh kebiasaan mayoritas anak-anak menggambar gunung, sawah dan matahari dan nyaris tidak penah menggambar pemandangan pantai dan laut.
Mentalitas yang demikian tercermin pada orientasi pendidikan kita, yang cenderung melatih orang untuk menghafal (statis), dengan ketaatan di luar batas pada guru (feodal) dan kebiasaan guru untuk tidak terbuka dan tidak murah hati dalam mentransfer ilmu (introvert). Dengan kultur demikian sulit bagi bangsa kita untuk berubah maju atas kehendak sendiri. Perubahan selalu terjadi karena pengaruh eksternal yang tak tertahankan. Seringkali yang ditiru hanyalah tampak luarnya bukan esensinya.
Visi dan program maritim hanya bisa sukses secara berkelanjutan jika terdapat basis kultur yang terbuka, egaliter, haus pengetahuan dan menyukai tantangan perubahan. Pada jangka pendeknya program maritim bisa berjalan dengan merekrut kalangan pengambil keputusan dan para pelaku utama dari kalangan yang mempunyai kultur itu. Bisa juga dengan mengundang investasi asing dari pihak yang lebih maju dalam hal di mana tidak terdapat kemampuan modal dan pengetahuan dalam bidang-bidang tertentu.
Tetapi pada jangka panjangnya yang diperlukan adalah perubahan orientasi pendidikan, ke arah rasionalitas ilmu pengetahuan dan teknologi, kesadaran akan sumber-sumber keunggulan kompetitif, kepekaaan budaya, kedalaman budi pekerti dan penanaman sifat menyikapi tantangan perubahan secara positif.
Untuk menggambarkan betapa kita tidak siap menanggapi perubahan adalah tiadanya antisipasi terhadap kemungkinan rencana Thailand untuk membuat kanal di semenanjung Kra, yang pembangunannya bisa selesai kurang dari 10 tahun. Sekarang Thailand sedang berpikir keras apakah mereka akan melanjutkan rencana tersebut. Sekiranya mereka membuatnya, adanya kanal tersebut tentu amat mengurangi volume transportasi laut yang melalui perairan nusantara.
Sepintas lalu Singapura akan terpukul. Tetapi jangan lupa bahwa Singapura selalu merencanakan dirinya berada di depan peristiwa. Mereka tidak perlu hanya mempertahankan keunggulannya sebagai pusat pelayanan perhubungan laut. Mereka berencana menjadikan Singapura sebagai pusat budaya dan pusat jasa bernilai tinggi sehingga corak ekonominya akan lebih canggih dan kehidupannya lebih menarik, bukan seperti Singapura sekarang yang amat tertib, effisien tapi membosankan.
Menteri Luar Negeri Singapura di masa lalu, Rajaratnam pernah mengatakan bahwa “Kami di Singapura harus selalu berusaha maju setengah langkah melebihi negara-negara tetangga kami'” Para ahli geografi ekonomi dapat memperkirakan ke arah mana pusat pertumbuhan ekonomi regional Pasifik bergerak sekiranya kanal Kra menjadi kenyataan, tapi rasanya tidak pernah terdengar apakah kita mempunyai skenario tertentu.
Pembangunan kanal Kra belum tentu merugikan Indonesia selama kita membangun kekuatan ekonomi maritim sejalan dengan dinamika perubahan. Sekiranya kita pintar menjalin interdependensi ekonomi antar wilayah dan selama kita lebih tergantung satu sama lain di antara kita, lebih kuat dari ketergantungan eksternal, maka keutuhan bangsa dan negara akan senantiasa terjamin.
Dengan kekayaan sumber daya alam yang juga sekaligus unik, sekiranya kita punya komitmen kuat untuk membangun ekonomi berdaya saing, kita bisa menciptakan pasaran dalam negeri yang besar dengan jumlah orang yang nantinya melebihi 250 juta, serta masih punya peluang berperan dalam ekonomi global. Masalahnya, sudahkah kita berpikir dan bergerak ke sana?
****
SAAT ini kita kedatangan tamu dari India yaitu kapal induk Angkatan Laut India INS Virat sebagai tamu TNI AL. Berlainan dengan TNI AL yang puncak kebesarannya di tahun 1960-an didongkrak oleh bantuan Uni Soviet dalam rangka geopolitik, kekuatan militer India sepenuhnya lahir dari kemampuan industri srategiknya yang sudah lama dibangun sejak awal kemerdekaannya.
AL India dibesarkan supaya “Kekuatan angkatan laut kami sepadan dengan kemajuan-kemajuan pesat India di bidang ekonomi”, demikian kira-kira bunyi pernyataan Panglima Armada Timur India. Bisa diduga bahwa India melalui AL-nya bermaksud menjadikan Lautan Hindia sebagai wilayah pengaruhnya, mungkin tidak sendirian, tetapi bersama-sama dengan Amerika Serikat. Indikasi ini terlihat dari sikap lunak Amerika Serikat terhadap pengembangan teknologi nuklir India.
Dari contoh India kita mendapat penegasan akan keharusan memperkuat bukan saja armada niaga sesuai “asas cabotage”, tetapi juga memperkuat TNI AL karena di samping menyandang fungsi pertahanan, di manapun juga angkatan laut mempunyai fungsi memproyeksikan kehadiran negara dan fungsi diplomasi, terlebih lagi karena status kita sebagai negara kepulauan mengharuskan kehadiran negara di wilayah perbatasan laut yang begitu luas.
Indonesia berada ditengah kehadiran negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Australia, India dan Cina yang walaupun bukan negara kepulauan, namun sudah punya visi dan kebijakan maritim, serta negara kecil seperti Singapura yang akan meraup keuntungan ekonomi dari perkembangan itu, dan Thailand yang juga melakukan hal yang sama.
Jadi apa yang menjadi masalah bagi visi maritim Indonesia? Masalahnya adalah bahwa kita harus menuntaskan jati diri bangsa sebagai penghuni negara kepulauan, dan perlu mempunyai visi dan strategi yang cerdas dan kreatif untuk keluar dari paradigma agraris tradisional ke arah paradigma maritim yang rasional dan berwawasan global. Bukan karena ingin menjadi negara superpower tetapi demi kesejahteraan rakyat dan harga diri serta keamanan bangsa.
Bukan beralih ke laut karena sudah terlalu banyak problem di darat seperti pengurasan sumber daya alam dan involusi pertanian, namun karena ingin mengintegrasikan sumber daya terestial dengan sumber daya perairan untuk mencapai nilai ekonomi tertinggi.
*) Tulisan ini dibuat tanggal 1 Agustus 2005 berdasarkan ceramah lisan untuk perwira siswa Angkatan XLIII pada tanggal 27 Juli 2005 di SESKOAL, Sarwono Kusumaatmadja, Jakarta. Sumber: http://www.sarwono.net/analisispol.php?id=24.
Dengan demikian maka perairan antar pulau pada waktu itu adalah wilayah internasional. Wilayah laut kita dengan rezim hukum laut seperti disebut di atas hanyalah seluas kira-kira 100.000 km2. Secara fisik pulau-pulau Indonesia dipisahkan oleh laut, walaupun secara kultur konsep kewilayahan kita tidak membedakan penguasaan antara laut dan darat. Bangsa Indonesia adalah satu-satunya bangsa di dunia yang menamakan wilayahnya sebagai tanah air.
Pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah RI melalui deklarasi Perdana Menteri Ir. Djuanda mengklaim seluruh perairan antar pulau di Indonesia sebagai wilayah nasional. Deklarasi di atas yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda, adalah pernyataan jati diri sebagai negara kepulauan, di mana laut menjadi penghubung antar pulau, bukan pemisah.
Klaim ini bersamaan dengan upaya memperpanjang batas laut teritorial menjadi 12 mil dari pantai, kemudian diperjuangkan oleh Indonesia untuk mendapat pengakuan internasional di PBB, suatu perjuangan panjang yang meliwati 3 rezim politik yang berbeda yaitu Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru.
Kendati prinsip negara kepulauan mendapat tentangan dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat, akhirnya pada tahun 1982 lahirlah Konvensi kedua PBB tentang Hukum Laut (2nd United Nations Convention on the Law of the Sea, disingkat UNCLOS) yang mengakui konsep negara kepulauan, sekaligus juga mengakui konsep Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang diperjuangkan oleh Chili dan negara-negara Amerika Latin lainnya.
Setelah diratifikasi oleh 60 negara maka UNCLOS kemudian resmi berlaku pada tahun 1994. Berkat perjuangan yang gigih dan memakan waktu, Indonesia mendapat pengakuan dunia atas tambahan wilayah nasional sebesar 3,1 juta km2 wilayah perairan dari hanya 100.000 km2 warisan Hindia Belanda, ditambah dengan 2,7 juta km2 Zone Ekonomi Eksklusif yaitu bagian perairan internasional dimana Indonesia mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya alam termasuk yang ada di dasar laut dan di bawahnya.
Konsep Negara Kepulauan (Nusantara) memberikan kita anugerah yang luar biasa. Letak geografis kita strategis, di antara dua benua dan dua samudra dimana paling tidak 70% angkutan barang melalui laut dari Eropa, Timur Tengah dan Asia Selatan ke wilayah Pasifik, dan sebaliknya, harus melalui perairan kita. Wilayah laut yang demikian luas dengan 17.500-an pulau-pulau yang mayoritas kecil memberikan akses pada sumber daya alam seperti ikan, terumbu karang dengan kekayaan biologi yang bernilai ekonomi tinggi, wilayah wisata bahari, sumber energi terbarukan maupun minyak dan gas bumi, mineral langka dan juga media perhubungan antar pulau yang sangat ekonomis.
Panjang pantai 81.000 km (kedua terpanjang di dunia setelah Canada ) merupakan wilayah pesisir dengan ekosistem yang secara biologis sangat kaya dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Secara metereologis, perairan nusantara menyimpan berbagai data metrologi maritim yang amat vital dalam menentukan tingkat akurasi perkiraan iklim global. Di perairan kita terdapat gejala alam yang dinamakan Arus Laut Indonesia (Arlindo) atau the Indonesian throughflow yaitu arus laut besar yang permanen masuk ke perairan Nusantara dari samudra Pasifik yang mempunyai pengaruh besar pada pola migrasi ikan pelagis dan pembiakannya dan juga pengaruh besar pada iklim benua Australia.
****
SAYANGNYA keuntungan yang luar biasa di atas sebagai konsekuensi jati diri bangsa nusantara tidak disertai dengan kesadaran dan kapasitas yang sepadan. Bangsa Indonesia masih mengidap kerancuan identitas. Di satu pihak mempunyai persepsi kewilayahan tanah air, tetapi memposisikan diri secara kultural sebagai bangsa agraris dengan puluhan juta petani miskin yang tidak sanggup kita sejahterakan, sedangkan kegiatan industri modern sulit berkompetisi dengan bangsa lain, antara lain karena budaya kerja yang berkultur agrarian konservatif, disamping berbagai inefisiensi birokrasi dan korupsi.
Industri pun kita bangun tidak berdasar pada keunggulan kompetitif namun pada keunggulan komparatif, tanpa kedalaman struktur dan tanpa masukan keilmuan dan teknologi yang kuat. Tradisi kepelautan kita dinyatakan dengan kemampuan melayari Samudra Pasifik dengan kapal Pinisi Nusantara dan selamat sampai Vancouver, tapi kapal yang sama pecah dan tenggelam menabrak karang di Kepulauan Seribu dalam perjalanan lokal yang sederhana.
Di zaman Bung Karno Angkatan Laut kita pernah menjadi keempat terbesar di dunia setelah Amerika Serikat, Uni Soviet dan Iran. Tetapi kekuatan itu tidak riel dan hanya temporer karena tidak dibangun atas kemampuan sendiri, namun karena bantuan Uni Soviet dalam kerangka permainan geopolitik.
Selama itu, berbagai rencana di bidang kelautan dan kemaritiman dibuat dan dideklarasikan namun kelembagaan kelautan, pembangunan perekonomian maritim dan pembangunan sumber daya manusia tidak pernah dijadikan arus utama pembangunan nasional, yang didominasi oleh persepsi dan kepentingan daratan semata. Dewan Kelautan Nasional memang dibuat tetapi dengan mandat terbatas dan menduduki hirarki yang tidak signifikan dalam kelembagaan pemerintahan.
Segala paradoks tadi terus menerus memunculkan gugatan demi gugatan yang makin nyaring dari masyarakat kelautan kita yang kemudian menciptakan kelembagaan berupa Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 1999 dan juga Dewan Maritim Indonesia pada tahun yang sama, dengan ruang lingkup tugas yang lebih luas dibandingkan dengan Dewan Kelautan Nasional di zaman Orde Baru.
Mudah-mudahan era presidensi Susilo Bambang Yudhoyono merupakan titik balik menentukan dalam kehidupan maritim kita. Melalui Inpres 5 tahun 2005 “asas cabotage” dihidupkan kembali. [“asas cabotage” adalah prinsip hukum yang dianut oleh sebagian besar negara maritim dunia yang menyatakan bahwa angkutan di dalam suatu negara hanya dapat diangkut oleh kapal yang berbendera dari negara yang bersangkutan —Red]. Demikian juga otoritas moneter telah menetapkan kapal sebagai benda yang boleh diagunkan. Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) sedang dalam penyusunan termasuk visi maritim didalamnya, seiring dengan langkah-langkah konkrit lanjutan menyangkut industri strategis dan kelembagaan pelabuhan.
Perlu diterangkan bahwa antara istilah kelautan dan maritim harus dibedakan. Kelautan merujuk kepada laut sebagai wilayah geopolitik maupun wilayah sumber daya alam, sedangkan maritim merujuk pada kegiatan ekonomi yang terkait dengan perkapalan, baik armada niaga maupun militer, serta kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan itu seperti industri maritim dan pelabuhan. Dengan demikian kebijakan kelautan merupakan dasar bagi kebijakan maritim sebagai aspek aplikatifnya.
Terlepas dari rumusan final visi maritim Indonesia, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Antara lain, pertama, negara perlu mempunyai kebijakan kelautan yang jelas dan bervisi ke depan karena menyangkut geopolitik bangsa dan dengan demikian berwawasan global dan menyangkut pula kebijakan-kebijakan dasar tentang pengelolaan sumber daya alam di samping sumber daya ekonomi pada umumnya. Demi daya saing bangsa kita perlu berangkat dari keunggulan kompetitif yang bisa berbasis lokal.
Kedua, kebijakan kelautan adalah kebijakan negara kepulauan sehingga variabel keruangan harus lengkap, tidak hanya monodimensional laut. Konsep tri-matra (darat-laut-udara), karena kemajuan ilmu dan teknologi serta peningkatan kesadaran lingkungan hidup menjadi tidak lengkap untuk sekarang dan masa depan. Yang lebih mengena adalah variabel multi-matra (darat termasuk pegunungan; permukaan air dari mata air di hulu sampai permukaan laut; kolom air di sungai, danau maupun laut; pesisir; dasar laut; bawah dasar laut; atmosfir; stratosfir dan angkasa luar), jumlahnya 9 matra. Sejak Presiden Soeharto meluncurkan satelit Palapa pada dekade 1970-an sebenarnya kita telah masuk ke era ruang angkasa, tidak sekedar tri-matra, demikian juga sekarang ketika kita mulai merentang kabel telekomunikasi bawah laut, masuk ke matra dasar laut. Tetapi tetap saja kita menggunakan tri-matra sebagai acuan keruangan, mungkin karena terlanjur menjadi manusia penghafal.
Sesuai kemampuan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik yang lebih kompleks, serta kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi tentunya variabel keruangan bisa dikembangkan. Dengan demikian kebijakan kelautan bukanlah pengganti kebijakan masa lampau yang terkesan kuat dominan berorientasi daratan.
Ketiga, hirarki ruang juga perlu ditentukan, yaitu ruang di mana kita berdaulat penuh, ruang di mana kita punya hak berdaulat, dan ruang di mana kita perlu punya pengaruh baik eksklusif maupun melalui kerjasama politik, ekonomi dan pertahanan.
Keempat, pemerintah perlu menuntaskan seluruh kewajiban yang tercantum dalam UNCLOS, karena penting artinya bagi effektifitas kedaulatan kita. Adalah ironis bahwa Indonesia sebagai pelopor konsep negara kepulauan lantas nantinya tertinggal dalam pengamanan kedaulatan wilayahnya. Sekiranya hal ini terjadi maka posisi kita secara geopolitik akan lemah, serta memicu berbagai sengketa di wilayah laut yang sulit kita atasi, apalagi dengan kekuatan militer maritim yang demikian kecil. Peristiwa Sipadan/Ligitan dan peristiwa Ambalat merupakan peringatan dini terhadap kemungkinan masalah lebih besar di kemudian hari.
Kelima, kalau semua hal di atas sudah jelas arahnya, maka visi maritim dapat dibangun dan kekuatan maritim dapat dibangkitkan sepadan dengan tuntutan geopolitik bangsa dan sesuai dengan persepsi keruangan kita dan juga persepsi tentang keunggulan kompetitif baik yang berbasis sumber daya alam, budaya, ilmu pengetahuan maupun geografi. Kebijakan perkapalan, pelabuhan, transportasi antar matra, prioritas kegiatan ekonomi, pembangunan angkatan bersenjata (militer dan polisi), kebijakan fiskal, kebijakan investasi, kebijakan enersi, kebijakan dirgantara, kebijakan pembangunan daerah dan kawasan serta tatanan kelembagaan dan kebijakan pembangunan sumber daya manusia merupakan turunan dari visi maritim dan visi maritim juga adalah turunan dari kebijakan kelautan.
****
SETELAH semua itu selesai dan dirumuskan secara baik, kita mempunyai soal berikut, yaitu mewujudkannya dalam implementasi. Banyak hal yang mempengaruhi implementasi visi dan kebijakan maritim namun akar masalahnya berada dalam budaya agraris tradisional yang kita warisi.
Masyarakat agraris tradisional di pedalaman cenderung statis, introvert dan feodal. Berlainan dengan budaya pesisir yang lebih terbuka dan egaliter serta biasa memanfatkan pengaruh luar karena interaksi niaga antar bangsa. Komunitas pesisir menjadi lemah di masa lampau karena tidak adanya persepsi bersama menghadapi merkantilisme Eropa sehingga kerajaan-kerajaan pesisir hancur ditaklukkan, menghadapi tekanan dari kolonialisme dan juga serangan dari pedalaman.
Dengan demikian budaya yang dominan adalah budaya agraris tradisional, yang antara lain ditandai sampai sekarang oleh kebiasaan mayoritas anak-anak menggambar gunung, sawah dan matahari dan nyaris tidak penah menggambar pemandangan pantai dan laut.
Mentalitas yang demikian tercermin pada orientasi pendidikan kita, yang cenderung melatih orang untuk menghafal (statis), dengan ketaatan di luar batas pada guru (feodal) dan kebiasaan guru untuk tidak terbuka dan tidak murah hati dalam mentransfer ilmu (introvert). Dengan kultur demikian sulit bagi bangsa kita untuk berubah maju atas kehendak sendiri. Perubahan selalu terjadi karena pengaruh eksternal yang tak tertahankan. Seringkali yang ditiru hanyalah tampak luarnya bukan esensinya.
Visi dan program maritim hanya bisa sukses secara berkelanjutan jika terdapat basis kultur yang terbuka, egaliter, haus pengetahuan dan menyukai tantangan perubahan. Pada jangka pendeknya program maritim bisa berjalan dengan merekrut kalangan pengambil keputusan dan para pelaku utama dari kalangan yang mempunyai kultur itu. Bisa juga dengan mengundang investasi asing dari pihak yang lebih maju dalam hal di mana tidak terdapat kemampuan modal dan pengetahuan dalam bidang-bidang tertentu.
Tetapi pada jangka panjangnya yang diperlukan adalah perubahan orientasi pendidikan, ke arah rasionalitas ilmu pengetahuan dan teknologi, kesadaran akan sumber-sumber keunggulan kompetitif, kepekaaan budaya, kedalaman budi pekerti dan penanaman sifat menyikapi tantangan perubahan secara positif.
Untuk menggambarkan betapa kita tidak siap menanggapi perubahan adalah tiadanya antisipasi terhadap kemungkinan rencana Thailand untuk membuat kanal di semenanjung Kra, yang pembangunannya bisa selesai kurang dari 10 tahun. Sekarang Thailand sedang berpikir keras apakah mereka akan melanjutkan rencana tersebut. Sekiranya mereka membuatnya, adanya kanal tersebut tentu amat mengurangi volume transportasi laut yang melalui perairan nusantara.
Sepintas lalu Singapura akan terpukul. Tetapi jangan lupa bahwa Singapura selalu merencanakan dirinya berada di depan peristiwa. Mereka tidak perlu hanya mempertahankan keunggulannya sebagai pusat pelayanan perhubungan laut. Mereka berencana menjadikan Singapura sebagai pusat budaya dan pusat jasa bernilai tinggi sehingga corak ekonominya akan lebih canggih dan kehidupannya lebih menarik, bukan seperti Singapura sekarang yang amat tertib, effisien tapi membosankan.
Menteri Luar Negeri Singapura di masa lalu, Rajaratnam pernah mengatakan bahwa “Kami di Singapura harus selalu berusaha maju setengah langkah melebihi negara-negara tetangga kami'” Para ahli geografi ekonomi dapat memperkirakan ke arah mana pusat pertumbuhan ekonomi regional Pasifik bergerak sekiranya kanal Kra menjadi kenyataan, tapi rasanya tidak pernah terdengar apakah kita mempunyai skenario tertentu.
Pembangunan kanal Kra belum tentu merugikan Indonesia selama kita membangun kekuatan ekonomi maritim sejalan dengan dinamika perubahan. Sekiranya kita pintar menjalin interdependensi ekonomi antar wilayah dan selama kita lebih tergantung satu sama lain di antara kita, lebih kuat dari ketergantungan eksternal, maka keutuhan bangsa dan negara akan senantiasa terjamin.
Dengan kekayaan sumber daya alam yang juga sekaligus unik, sekiranya kita punya komitmen kuat untuk membangun ekonomi berdaya saing, kita bisa menciptakan pasaran dalam negeri yang besar dengan jumlah orang yang nantinya melebihi 250 juta, serta masih punya peluang berperan dalam ekonomi global. Masalahnya, sudahkah kita berpikir dan bergerak ke sana?
****
SAAT ini kita kedatangan tamu dari India yaitu kapal induk Angkatan Laut India INS Virat sebagai tamu TNI AL. Berlainan dengan TNI AL yang puncak kebesarannya di tahun 1960-an didongkrak oleh bantuan Uni Soviet dalam rangka geopolitik, kekuatan militer India sepenuhnya lahir dari kemampuan industri srategiknya yang sudah lama dibangun sejak awal kemerdekaannya.
AL India dibesarkan supaya “Kekuatan angkatan laut kami sepadan dengan kemajuan-kemajuan pesat India di bidang ekonomi”, demikian kira-kira bunyi pernyataan Panglima Armada Timur India. Bisa diduga bahwa India melalui AL-nya bermaksud menjadikan Lautan Hindia sebagai wilayah pengaruhnya, mungkin tidak sendirian, tetapi bersama-sama dengan Amerika Serikat. Indikasi ini terlihat dari sikap lunak Amerika Serikat terhadap pengembangan teknologi nuklir India.
Dari contoh India kita mendapat penegasan akan keharusan memperkuat bukan saja armada niaga sesuai “asas cabotage”, tetapi juga memperkuat TNI AL karena di samping menyandang fungsi pertahanan, di manapun juga angkatan laut mempunyai fungsi memproyeksikan kehadiran negara dan fungsi diplomasi, terlebih lagi karena status kita sebagai negara kepulauan mengharuskan kehadiran negara di wilayah perbatasan laut yang begitu luas.
Indonesia berada ditengah kehadiran negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Australia, India dan Cina yang walaupun bukan negara kepulauan, namun sudah punya visi dan kebijakan maritim, serta negara kecil seperti Singapura yang akan meraup keuntungan ekonomi dari perkembangan itu, dan Thailand yang juga melakukan hal yang sama.
Jadi apa yang menjadi masalah bagi visi maritim Indonesia? Masalahnya adalah bahwa kita harus menuntaskan jati diri bangsa sebagai penghuni negara kepulauan, dan perlu mempunyai visi dan strategi yang cerdas dan kreatif untuk keluar dari paradigma agraris tradisional ke arah paradigma maritim yang rasional dan berwawasan global. Bukan karena ingin menjadi negara superpower tetapi demi kesejahteraan rakyat dan harga diri serta keamanan bangsa.
Bukan beralih ke laut karena sudah terlalu banyak problem di darat seperti pengurasan sumber daya alam dan involusi pertanian, namun karena ingin mengintegrasikan sumber daya terestial dengan sumber daya perairan untuk mencapai nilai ekonomi tertinggi.
*) Tulisan ini dibuat tanggal 1 Agustus 2005 berdasarkan ceramah lisan untuk perwira siswa Angkatan XLIII pada tanggal 27 Juli 2005 di SESKOAL, Sarwono Kusumaatmadja, Jakarta. Sumber: http://www.sarwono.net/analisispol.php?id=24.
0 komentar:
Posting Komentar