11/11/11

Alur Laut Kepulauan Indonesia: Peluang dan Ancaman bagi NKRI


ALUR Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) merupakan jalur di wilayah perairan Indonesia yang dapat dilewati kapal dan pesawat udara asing. Hal ini mengacu pada kesalahan kita dalam merancang dan menerapkan hak lintas laut dalam PP terkait Hukum Laut Internasional, United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang ditetapkan pada 1982. Padahal, wilayah Indonesia kini menjadi salah satu jalur terpadat di dunia.

Pengamat pertahanan maritim Indonesia, Connie Rahakundini Bakrie kepada Indonesia Maritime Megazine menjelaskan, dibukanya jalur ALKI membuat Indonesia menjadi negara terbuka. Karena itu, perairan dan ruang udara di jalur ALKI harus terjamin keamanannya dari segala bentuk gangguan dan ancaman. Hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia.

Melihat potensi Indonesia yang merupakan jalur lalu lintas internasional, Connie memaparkan sejarah wilayah laut sebagai bagian dari suatu negara. Di abad 4 SM Iskandar Zulkarnain mengutarakan apa yag disebut First Paradigma Dimension, bahwa wilayah penguasaan sebuah negara hanya mencakup daratan. Pemikiran ini terus berkembang hingga masa Gengis Khan, pada 12 SM.

Barulah kata Connie, di abad 16 muncul dimensi baru kekuasaan negara yang mencakup wilayah lautan. Di mana bangsa-bangsa maju terpecah dalam beberapa pemahaman. Paham Gracius menyebutkan lautan adalah bebas tidak ada yang memiliki (Belanda). Paham J Seldom menyatakan laut termasuk bagian dari sebuah negara (Inggris). Pandangan tersebut kemudian didukung Colombus, Vasco De Gamma hingga Hang Tuah.

Lalu, bagaimana dengan penguasaan negara terhadap wilayah udara? Silang pendapat tentang hal ini berlangsung sengit hingga Konferensi Paris 1910 melahirkan kontradiksi baru antara “air is free dan “subjacent state”. Mereka menganggap ruang udara adalah milik negara yang berada di bawahnya, dan dapat dikelola serta dimanfaatkan bagi keuntungan negara tersebut.

Connie mengatakan, dilihat dari faktor lautan dan alur ALKI yang merupakan implementasi ketentuan UNCLOS (United Nation Convention on The Law of The Sea) 1982, yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 1985, Indonesia telah menetapkan tiga ALKI sebagai jalur lintas kapal asing dalam pelayaran dari suatu laut bebas (ZEE) ke laut bebas lainnya yang mencakup jalur udara di atasnya.

Manfaat yang didapatkan Indonesia dari ALKI adalah 1) Indonesia menjadi bagaian penting dari terwujudnya sebuah ‘peradaban’ yang berhubungan dengan lautan. 2) Indonesia menjadi bagian penghubung penting dari Eurasian Blue Belt. 3) Indonesia mengambil peranan sangat besar dalam Global Logistic Support System dan khususnya terkait dengan SLOCS (Sea Lanes Of Vommunications) dan COWOC (Consolidated Ocean Web Of Communication). 4) Wilayah lautan dan ALKI Indonesia menjadi penghubung penting dalam HASA (Highly Accesed Sea Areas) dimana ketiga lautan yaitu India, Southeast dan South Pacific bertemu didalamnya dan 5) Terkait dengan World Shipping yang melintasi ALKI dengan muatan Dry Cargo maupun Liquid Cargo.

Connie membeberkan, dilihat dari jalur udara Indonesia juga sangat strategis. Mengingat pembagian jalur wilayah udara yang dikendalikan Air Traffic System (ATS) dan pengendalian penerbangan internasional yang ditetapkan ICAO, maka Indonesia menjadi negara yang dilewati sekitar 43 jalur penerbangan internasional serta ratusan reporting points. Hal ini menjadikan wilayah udara Indonesia sebagai salah satu jalur terpadat di dunia.

Mengenai manfaat ALKI bagi negara dan masyarakat Indonesia, Connie menyorot Selat Malaka. Selat Malaka merupakan jalur terpendek lalu lintas barang dan suplai energi dari Timur Tengah, Eropa dan Afrika ke negara Asia Timur, seperti Jepang, China dan Korea, yang mampu memendekkan jarak tempuh hingga 2000 KM, dibandingkan alternatif jalur pejalanan laut melalui Selat Sunda.

“Jika terjadi sesuatu ‘gangguan’ di selat Malaka, dilihat dari lamanya pelayaran maka dari Malaka ke Selat Sunda atau Lombok memerlukan tambahan 3 hari, ke South China Sea lewat Lombok dan bagian Timur Philiphina atau ke bagian Selatan Australia dari Indonesia ke Jepang memerlukan tambahan waktu sekitar 2 minggu,” ujarnya.

Connie menuturkan, Laksamana Rosihan Arsyad dalam tulisannya di The Indonesian Journey, menyampaikan Indonesia diramalkan akan menjadi negara besar dan menjadi mesin pertumbuhan Asia, serta salah satu jajaran negara-negara ekonomi terbesar dunia.

Hal ini bisa dilihat pada 2007, perdagangan Indonesia mencakup ekspor 114.100.890.751 dolar AS untuk 342.773.698 ton komoditi. Menurut Indonesia Central Statistic Agency nilai ini akan belipat dua pada 2012. Karena itu, tak heran jika Robert Kaplan dalam buku terbarunya, Monsoon menyebutkan posisi Indonesia sebagai negara supra strategic.

“Maka jawaban atas pertanyaan ini saya jawab dengan perta-­nya­an balik. Sudahkah kita memanfaatkan ALKI lainnya secara maksimum dengan segala kelebihan strategis yang dimilikinya? Kan aneh Singapura dan Malaysia yang hanya ‘terkait’ di Selat Malaka dapat mengambil keuntungan demikian banyak dari posisi strategis keberadaan selat itu. Sementara kita hanya sebatas bangga memiliki selat-selat dan ALKI, tetapi tidak memaksimalkan manfaat yang bisa diperoleh dari kepemilikan tersebut,” ujar Connie membeberkan.

Lebih lanjut, Connie mengatakan, dengan dibukanya ALKI membuat Indonesia menjadi negara yang tadinya ‘tertutup’ menjadi ‘terbuka’. Karena itu, perairan serta ruang udara di atasnya harus terjamin keamanannya dari segala bentuk gangguan dan ancaman. Sehingga setiap kapal yang melewati jalur ALKI merasa aman, dan ini berada di bawah tanggung jawab pemerintah Indonesia.

“Hal sangat riskan, jika dilihat dari faktor kesiapan dan kapabilitas TNI AU dan TNI AL kita. Melihat kondisi kemampuannya saat ini, dengan tidak diselesaikannya agenda SSR (security sector reform) yang menjadi tuntutan kaum sipil sejak 1998 untuk memprofesionalkan TNI, dimana unsur terpentingnya dengan menyediakan anggaran memadai untuk membangun TNI kita yang profesional dan well equipped, tetapi tidak dilaksanakan oleh kaum sipil sendiri, ungkap perempuan cantik ini.

Melihat posisi Indonesia menjadi penghubung antara dua lautan bebas Pasifik dan India, maka ALKI memotong kesatuan wilayah perairan Indonesia. Di mana alur ini dapat digunakan sebagaimana laut bebas.
“Ancaman yang terangkum di dalamnya mencakup apa yang saya sering sebut sebagai 16 transational threats plus 1, yaitu a.l mencakup; illegal fishing, drugs human and guns trafficking, terrorism, piracy, global warming and climate change effects, illegal migrations, energy security chain, water and food security, serta bahaya utama dari beredarnya Private Military Companies (PMCs) di perairan kita untuk melindungi MNCs dan kepentingan beberapa “bisnis hitam” di atas,” ujar Connie.

Bahaya lainnya, kata Connie, terkait upaya pemerintah dengan dikeluarkannya Hak lintas dalam ALKI. Selintas pasal-pasal ini dapat menampung aspirasi IMO, tetapi sulit dilaksanakan jika dikaitkan dalam keselamatan penerbangan karena hak lintas laut dari IMO dalam pasal ini ‘diterjemahkan’ berlebihan dengan memberikan hak yang sama kepada pesawat terbang (lihat pasal 1 PP 37). Padahal, induk organisasi lalu lintas udara itu terkait pada ICAO, termasuk mengatur lalu lintas udara internasional di atas wilayah Indonesia.

“Duplikasi pengaturan ruang udara ini jelas menjadi masalah karena Main International Air Route akan berpotongan dengan ALKI pada ruang udara nasional kita!” tegas Connie

Mengenai upaya pemerintah dalam mengamankan ALKI dari ancaman luar, menurut Connie dikeluarkannya Hak Lintas dalam ALKI dalam PP Nomor 36, 37 dan 38, yang berhubungan dengan hak lalu lintas kapal dan pesawat udara di atas wilayah lautan Indonesia, pada 28 Juni 2002. Terkait operasi pengamanan ALKI merupakan tugas TNI yang dilaksanakan secara fungsional dan terpadu oleh Komando Armada RI Kawasan dan Komando Operasi TNI AU dibantu Kohanudnas.

Pembagian tugasnya, pertama, Panglima Armada Kawasan menyusun rencana operasi dan melaksanakan koordinasi dengan Pangkoopsau guna memperoleh keterpaduan Guspurla/Guskamla beserta unsur-unsur laut yang terlibat dalam pelaksanaan operasi pengamanan ALKI. Kedua, Gugus Tempur Laut/Gugus Keamanan Laut untuk menyusun rencana gerak sebagai jabaran dari rencana operasi pengamanan ALKI Panglima Armada Kawasan. Ketiga, unsur KRI dan Pesud Patmar untuk menyusun rencana gerak sesuai dengan sektor patroli laut yang telah ditentukan dan Unsur Pesud Patmar menyusun rencana patroli udara sesuai dengan sektor yang telah ditentukan.

Dari faktor keamanan udara, kata Connie, Koopsau beserta jajaran yang terlibat dalam melaksanakan koordinasi dengan Panglima Armada Kawasan, bertanggung jawab mengeluarkan perintah persiapan terhadap unsur-unsur Koops, sesuai dengan organisasi tugas yang telah ditentukan dalam rangka operasi pengamanan ALKI.

Keberhasilan penyelenggaraan operasi pengamanan ALKI tidak terlepas dari pemenuhan kebutuhan personel dan logistik yang tepat sasaran, tepat guna, tepat jumlah dan tepat waktu. Hal ini mencakup; dukungan operasi, dukungan bekal awal dan bekal ulang operasi, dukungan pemeliharaan dan perbaikan Alutsista, dukungan angkutan, serta dukungan perawatan kesehatan bagi personel.

Terkait dengan sistem kominukasi dan peralatan elektronika (PERNIKA) pengamanan ALKImencakup Pernika Strategis, Pernika Taktis dengan titik berat pada pelaksanaan perlawanan elektronika dan Sistem Informasi Kawan Lawan Operasi (Siklop) yang ditentukan Pusat Operasi Pertahanan Udara Nasional (Popunas) yang setiap harinya dapat berubah-ubah sesuai dengan ketentuan.

Karena itu, jelas Connie, Komando Armada RI Kawasan dan Komando Operasi TNI AU dibantu Kohanudnas juga bertanggung jawab menyusun rencana kebutuhan administrasi dan logistik yang diperlukan selama operasi.

“Patut diingat, dari sisi keamanan udara, terdapat perkecualian demi kepentingan negara atau militer serta kepentingan keselamatan penerbangan umum. Maka sesuai Pasal 9 Konvensi Chicago 1944 terdapat keleluasaan bagi setiap negara melarang pesawat asing terbang di atas wilayahnya,” terang Connie.Pertanyaannya kemudian apakah dengan kondisi nyata anggaran pertahanan kita dan efek yang ditimbulkan pada kapabilitas TNI AL dan TNI AU, mampu membuat kita selalu dapat melarang dan menyergap pesawat asing yang lewat di udara kita?

Connie membeberkan untuk mengintersepsi ancaman melalui kekuatan udara di ALKI 1 terjauh arah Utara (Natuna) menggunakan pesawat Hawk 100 dengan kemampuan kecepatan 0,8 NM memerlukan waktu 55 menit dari Pakanbaru dan 38 menit dari Pontianak. Untuk intersepsi menggunakan pesawat F16 Fighting Falcon dengan kemampuan kecepatan 0,95 NM ke ALKI 1 terjauh Selatan (Selat Sunda) memerlukan waktu 47 menit, dan 29 menit ke ALKI 2 terjauh Selatan (Selat Lombok).
Adapun untuk intersepsi menggunakan Sukhoi dengan kemampuanya 0,95 NM memerlukan waktu 47 menit ke ALKI 3 terjauh Utara (Selat Makassar), dan 39 menit ke ALKI 3 terjauh Selatan.

“Sukhoi kita juga memerlukan waktu 45 menit ke ALKI IIIA, memerlukan 60 menit ke ALKI IIIB dan memerlukan 98 menit ke ALKI IIIC. Jika terjadi sesuatu di ujung terjauh Papua mendekati perbatasan PNG maka Sukhoi memerlukan waktu mencapainya selama 128 menit dari Makassar,” ungkapnya.

Menurut Connie, ini masih hitungan berdasarkan pesawat dari posisi siap airborne dengan tanki terisi penuh dan missilles yang terpasang. “Jika dilihat dari kondisi kemampuan kesiapan AU kita yang tidak dirancang untuk selalu siap airborne, maka diperlukan ekstra waktu sekitar 15 hingga 20 menit untuk pesawat tersebut siap mengamankan ALKI yang dimaksud,” ujarnya.

2 komentar: