Indonesia termasuk ke dalam Coral Triangle di dunia dimana ada tiga wilayah yang memiliki potensi maritim terutama terumbu karang terbesar, yakni wilayah Amazon di Amerika, wilayah Congo Basir di Afrika dan wilayah di Indonesia yang 60% berada di wilayah timur dengan jumlah lebih dari 500 spesies.
Yang menyebabkan Indonesia belum dapat dikatakan sebagai Negara Maritim adalah sebagai berikut :
1. Indonesia belum dapat mengelola potensi maritim yang dimiliki.
Hampir 90 persen potensi migas Indonesia masih dikelola asing. Bahkan mungkin tidak banyak yang tahu kalau Raja Ampat adalah penghasil nikel terbesar di dunia. Kapal Sinar Kudus yang dibajak di Somalia membawa nikel Indonesia senilai Rp 6,5 trilyun, padahal baru berupa kapal kecil.
2. Pelaksanaan konservasi kelautan Indonesia masih berbentuk parsial.
Indonesia masih terkotak-kotak dengan desa, kecamatan, kabupaten, padahal pengelolaan sumber daya alam harus terintegrasi, bukan parsial. Contohnya, apa yang dilakukan di gunung, akan berpengaruh di laut. Tapi tidak banyak masyarakat atau aparat pemerintah yang tahu sampai sejauh ini.
Masalah otonomi memang menjadi salah satu masalah maritim di Indonesia yang menyebabkan Indonesia masih jauh dari istilah negara maritim karena tumpang tindihnya masalah otonomi. Para pejabat di daerah masih belum bersinergi untuk mengelola kelautan secara bersama-sama.
3. Belum adanya pendanaan khusus penelitian kelautan.
Masalah utama sulitnya Indonesia menjadi negara maritim adalah masalah penelitian yang berguna untuk mendapatkan indikator yang efektif dalam mengukur keseimbangan ekologi. Kemampuan riset dan teknologi Indonesia masih jauh dari negara lain. Maritim Indonesia masih terlalu misteri untuk dikelola dengan mudah. Indonesia banyak mengalami pencurian karena penelitian yang kurang sehingga tidak tahu bahwa potensi alam kita sudah dicuri oleh negara lain. Oleh karena itu, masalah fundamental yang harus dibenahi adalah memahami kekayaan laut Indonesia.
Banyak penelitian yang tidak berkelanjutan, padahal hasil penelitian harus berupa aplikator agar bisa dipakai untuk eksplorasi. Namun kenyataannya, berapa banyak penelitian mahasiswa yang berhenti setelah mendapat gelar sarjana. Aktivis, akademisi, dan penentu kebijakan di negara ini harus bekerja sama agar penelitian bisa berkelanjutan, diaplikasikan, sekaligus diawasi.
Prof. Jamaludin mengungkapkan bahwa CTI (Coral Trader Inisiative) bisa diberlakukan di Indonesia apabila dikelola dengan baik. Ada lima hal yang harus diperhatikan agar kita berhasil dalam CTI, yakni :
Pertama, lautan dikelola secara bersama-sama, bukan per desa atau per kabupaten karena laut merupakan satu kesatuan.
Kedua, Indonesia harus lebih paham isi laut sebelum mengelola ekosistem.
Ketiga, kelola kawasan konservasi laun dalam konteks networking (peneliti-aktifis-penentu kebijakan-pebisnis-masyarakat).
Keempat, adanya kesadaran bahwa spesies harus segera diperbaiki karena keragaman genetika adalah masa depan populasi manusia.
Kelima, Indonesia harus peduli bahwa perubahan iklim sudah terjadi di laut Indonesia, misalnya dengan terjadinya coral bleaching di mana warna terumbu karang berubah karena polusi sehingga sulit untuk dijual.
Sumber : Kompas 17/07/11