Indonesia adalah negara kepulauan, artinya laut Indonesia itu lebih
luas dari daratannya. Jika laut dimanfaatkan dengan optimal, akan mampu
mensejahterakan masyarakat, khususnya masyarakat pesisir. Untuk
mengembangkan potensi maritim, maka pemerintah harus memiliki visi negara
maritim yang jelas.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km2 yang terdiri dari wilayah teritorial sebesar 3,2 juta km2 dan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,7 juta km2. Selain itu, terdapat 17.504 pulau di Indonesia dengan garis pantai sepanjang 95.181 km. Dengan wilayah laut yang sedemikian besar dan luas, tentu saja mengandung keanekaragaman alam laut yang potensial, baik hayati dan non hayati.
Namun Indonesia bagaikan negara raksasa yang masih tertidur lelap. Dikatakan demikian karena Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia belum mampu memberdayakan potensi maritimnya untuk dijadikan sebagai penunjang perekonomian negara demi kemajuan dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Visi Maritim.
Selat Strategis.
Indonesia memiliki posisi strategis yang memberikan peluang bagi Indonesia dengan memanfaatkan beberapa selat strategis sebagai jalur perekonomian dunia, seperti Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Makasar dan Selat Ombai-Wetar. Potensi geopolitis ini dapat digunakan Indonesia sebagai kekuatan Indonesia dalam percaturan politik dan ekonomi antar bangsa.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km2 yang terdiri dari wilayah teritorial sebesar 3,2 juta km2 dan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,7 juta km2. Selain itu, terdapat 17.504 pulau di Indonesia dengan garis pantai sepanjang 95.181 km. Dengan wilayah laut yang sedemikian besar dan luas, tentu saja mengandung keanekaragaman alam laut yang potensial, baik hayati dan non hayati.
Laut memiliki peran
geoekonomi yang sangat vital bagi kemakmuran bangsa Indonesia dalam 11
sektor ekonomi. Di antaranya, perikanan tangkap, perikanan budi daya,
industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan,
pertambangan dan energi, pariwisata bahari, transportasi laut,
kehutanan, sumber daya wilayah pulau-pulau kecil,industri dan jasa
maritim, serta sumber daya alam nonkonvensional.
Jika dikelola secara optimal potensi ekonomi maritime bisa mencapai USD150 pertahun. Dengan jumlah sedemikian mampu mensejahterakan masyarakat pesisir. Sayangnya, Indonesia ini bagikan negara raksasa yang masih tidur.
Sekitar 75 persen dari seluruh produk dan komoditas yang
diperdagangkan di kawasan ini ditransportasikan melalui laut Indonesia
dengan nilai sekitar USD1.300 triliun per tahun. Itu
karena kita tidak serius dan profesional dalam mendayagunakan sumber
daya kelautan.Jika dikelola secara optimal potensi ekonomi maritime bisa mencapai USD150 pertahun. Dengan jumlah sedemikian mampu mensejahterakan masyarakat pesisir. Sayangnya, Indonesia ini bagikan negara raksasa yang masih tidur.
Potensi maritim nasional adalah satu-satunya bidang yang tidak
terkena dampak negatif. Sumber daya maritim kita, mulai dari perikanan,
energi dan mineral, wisata bahari, dan lain sebagainya, tidak berbau
utang luar negeri.
Sayangnya, potensi tadi belum sungguh-sungguh dilirik sebagai basis perekonomian nasional oleh kita sebagai suatu bangsa. Di sini potensi berubah menjadi petaka.
Sayangnya, potensi tadi belum sungguh-sungguh dilirik sebagai basis perekonomian nasional oleh kita sebagai suatu bangsa. Di sini potensi berubah menjadi petaka.
Namun Indonesia bagaikan negara raksasa yang masih tertidur lelap. Dikatakan demikian karena Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia belum mampu memberdayakan potensi maritimnya untuk dijadikan sebagai penunjang perekonomian negara demi kemajuan dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Visi Maritim.
Untuk mengembangkan potensi sumber kekayaan laut pemerintah
harus memiliki visi maritim. Seharusnya kementerian/ lembaga yang
terkait kemaritiman mulai membangun konsep negara
maritim. Ada 12 kementerian yang terkait dengan kemaritiman, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perdagangan,
Kementerian Perindustrian, Kementrian Lingkungan, Kementerian PU,
Kementerian Perhubungan, Menteri Kordinator Kesejahteraan rakyat,
Kementerian Koperasi. Kementerian itu harus memiliki
konsep membangun negara maritim, sehingga dapat mengoptimalkan sumber
kekayaan laut.
Selat Strategis.
Indonesia memiliki posisi strategis yang memberikan peluang bagi Indonesia dengan memanfaatkan beberapa selat strategis sebagai jalur perekonomian dunia, seperti Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Makasar dan Selat Ombai-Wetar. Potensi geopolitis ini dapat digunakan Indonesia sebagai kekuatan Indonesia dalam percaturan politik dan ekonomi antar bangsa.
Sektor Perikanan.
Berdasarkan catatan Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP), sumbangan sektor perikanan terhadap produk
domestik bruto (PDB) memiliki peranan strategis.
Pada tahun 2008 tercatat PDB pada subsektor perikanan mencapai
angka Rp136,43 triliun. Nilai ini memberikan kontribusi terhadap PDB
kelompok pertanian menjadi sekitar 19,13 persen atau kontribusi terhadap
PDB nasional sebesar 2,75 persen. Hingga triwulan ke III 2009 PDB
perikanan mencapai Rp128,8 triliun atau memberikan kontribusi 3,36
persen terhadap PDB tanpa migas dan 3,12 persen terhadap PDB nasional.
Di antaranya, tanaman bahan makanan sebesar Rp347,841 triliun,
perikanan Rp136,435 triliun, tanaman perkebunan Rp106,186 triliun,
peternakan Rp82,835 triliun, dan kehutanan Rp32,942 triliun. Kemudian
hingga triwulan III 2009, PDB kelompok pertanian, peternakan, kehutanan,
dan perikanan sebesar Rp654,664 triliun. Dengan rincian, tanaman bahan
makanan Rp331,955 triliun, perikanan Rp128,808 triliun, tanaman
perkebunan Rp84,936 triliun, peternakan Rp76,022 triliun, dan kehutanan
Rp128,808 triliun. Dari jenis sektor dalam kelompok pertanian, perikanan
yang memiliki kenaikan rata-rata tertinggi sejak tahun 2004–2008 sebesar
27,06 persen. Kemudian sektor tanaman bahan makanan 20,66 persen,
tanaman perkebunan 21,22 persen, peternakan 19,87 persen,dan kehutanan
18,81 persen.
Catatan- catatan tersebut semakin menguatkan bahwa
sektor maritim sangat potensial dikembangkan sebagai penunjang ekonomi
nasional. Tentu saja, sektor kelautan tidak hanya menghasilkan produk
perikanan.
Standar Pelabuhan Umum.
Dari 114 pelabuhan umum, tidak satu pun memenuhi standar pelayanan internasional. Selama Orde Baru, kredit untuk sektor ekonomi kelautan kurang dari 15 persen dan untuk sektor perikanan hanya 0,02 persen dari total kredit. Wajar jika hingga kini kontribusi ekonomi kelautan hanya 30 persen PDB. Padahal, negara-negara dengan potensi laut yang jauh lebih kecil, seperti Jepang, Korea Selatan, Thailand, China, Islandia, dan Norwegia, sumbangan ekonomi kelautannya terhadap PDB mereka rata-rata mencapai 40 persen.
Tidak ada satu pun pelabuhan laut yang betul-betul berkelas dunia seperti PSA, Singapura, atau Tanjung Pelepas, Malaysia. Tanjung Priok, yang merupakan pelabuhan terbesar dan tersibuk di Indonesia, tidak pernah bisa bebas dari kemacetan manakala tiba waktu closing pemuatan barang ke atas kapal.
Potensi Perikanan.
Secara total potensi Sumberdaya Perikanan Indonesia senilai US$ 71.935.651.400 dan yang baru sempat digali sekitar US$ 17.620.302.800 atau 24,5 persen. Potensi tersebut belum termasuk hutan mangrove, terumbu karang serta energi terbarukan serta jasa seperti transportasi, pariwisata bahari yang memiliki peluang besar untuk dikembangkan. Berikut adalah potensi perikanan yang merupakan potensi maritim terbarukan yang perlu dikembangkan :
- Perikanan Laut (Tuna/Cakalang, Udang, Demersal, Pelagis Kecil, dan lainnya) sekitar 4.948.824 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 15.105.011.400.
- Mariculture (rumput laut, ikan, dan kerang-kerangan serta Mutiara sebanyak 528.403 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 567.080.000. Perikanan Umum 356.020 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 1.068.060.000.
- Budidaya Tambak 1.000.000 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 10.000.000.000.
- Budidaya Air Tawar 1.039,100 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 5.195.500.000.
- Potensi Bioteknologi Kelautan tiap tahun sebesar US$ 40.000.000.000
Masalah penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) di lautan
masih menjadi persoalan yang menyelimuti dunia maritim di berbagai
negara.Hingga saat ini, total kerugian Rp 80 triliun akibat akibat
illegal fishing. Dalam catatan Badan PBB untuk urusan pangan (Foodand
Agriculture rganization/FAO), negara berkembang, termasuk
Indonesia, mengalami kerugian hingga mencapai USD30 miliar akibat
penangkapan ikan ilegal. Berdasarkan estimasi FAO,sekitar 25 persen
hasil perikanan dunia berasal dari penangkapan ikan ilegal.
Potensi sumber daya ikan
Indonesia akibat illegal fishing diperkirakan mencapai 6,4 juta ton per tahun. Beberapa
upaya yang telah dilakukan pemerintah adalah dengan pengawasan tiga
lokasi kawasan perairan, penanggulan penangkapan ikan yang merusak
lingkungan di tiga provinsi.
Pemberantasan illegal fishing akan berdampak positif pada
bergairahnya industri perikanan di dalam negeri. Berdasarkan catatan
Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (APII), sebelumnya terdapat tujuh
industri pengalengan ikan tuna di Jawa Timur. Namun, kemudian empat unit
di antaranya tidak berproduksi lagi karena kekurangan bahan
baku.Sementara di Sulawesi Utara yang semula memiliki empat industri
yang sama,kini tinggal dua industri yang beroperasi. Industri
pengalengan di Bali juga tinggal satu unit padahal sebelumnya ada dua
industri pengalengan ikan tuna. Ibarat benalu, illegal fishing telah
membuat sumber pendapatan masyarakat Indonesia dari sektor perikanan
berkurang.
Apalagi jika pola penangkapan yang dilakukan bersifat merusak
ekosiste msumberdaya laut. Jika praktik illegal fishing ini berhasil
dicegah maka akan berdampak positif terhadap pencapaian target
revitalisasi perikanan. Selain
illegal fishing yang mengancam pengurangan ketersediaan ikan pada pasar lokal
dan mengurangi ketersediaan protein, juga mengancam keamanan makanan nasional.
Selain itu, praktik illegal fishing selama ini telah mengancam keamanan nelayan Indonesia khususnya nelayan-nelayan tradisional dalam menangkap ikan di perairan Indonesia karena selain melakukan penangkapan secara ilegal, tak jarang nelayan asing tersebut menembaki nelayan- nelayan tradisional yang sedang melakukan penangkapan ikan di fishing ground yang sama.
Dengan harga satu kapal yang diperkirakan antara Rp1–3 miliar, maka hasil penangkapan ratusan kapal asing yang melakukan illegal fishing itu nilainya bisa mencapai Rp600 miliar. Upaya pencegahan illegal fishing terus dilakukan dengan target lima tahun mendatang hingga mencapai 0 persen. KKP juga berencana melakukan pemetaan lokasi illegal fishing agar pengawasan bisa dilakukan secara intensif. Hingga saat ini, catatan KKP menunjukkan kapal yang paling sering melakukan penangkapan secara ilegal di perairan Indonesia adalah berasal dari China dan Thailand.
Selain itu, praktik illegal fishing selama ini telah mengancam keamanan nelayan Indonesia khususnya nelayan-nelayan tradisional dalam menangkap ikan di perairan Indonesia karena selain melakukan penangkapan secara ilegal, tak jarang nelayan asing tersebut menembaki nelayan- nelayan tradisional yang sedang melakukan penangkapan ikan di fishing ground yang sama.
Dengan harga satu kapal yang diperkirakan antara Rp1–3 miliar, maka hasil penangkapan ratusan kapal asing yang melakukan illegal fishing itu nilainya bisa mencapai Rp600 miliar. Upaya pencegahan illegal fishing terus dilakukan dengan target lima tahun mendatang hingga mencapai 0 persen. KKP juga berencana melakukan pemetaan lokasi illegal fishing agar pengawasan bisa dilakukan secara intensif. Hingga saat ini, catatan KKP menunjukkan kapal yang paling sering melakukan penangkapan secara ilegal di perairan Indonesia adalah berasal dari China dan Thailand.
Dalam memberantas ilegal fishing, maka diperlukan program penguatan armada penangkapan nasional, pemberian permodalan serta yang paling vital pemenuhan Bahan Bakar Minyak sesuai kemampuan nelayan. Penguatan armada penangkapan nasional dengan melakukan pengadaan kapal-kapal, alat dan perlengkapan tangkap yang bersaing (ramah lingkungan) serta meningkatkan pengetahuan penangkapan ikan. Pemenuhan BBM dengan melakukan subsidi khusus kepada nelayan.
Selain itu, pengurangan
investor asing perikanan masuk ke Indonesia juga diperlukan, agar
terjadi pertumbuhan investor dalam negeri untuk kemandirian bangsa. Oleh karena itu, pemerintah harus lebih memperhatikan nasib nelayan kita, misalnya
memberikan modal pada nelayan untuk pengadaan kapal. Dengan memiliki kapal yang besar, maka tangkapan
ikannya pun semakin besar.
Potensi Migas.
Menurut Richardson yang meneliti pada tahun 2008 bahwa sekitar 70% produksi minyak dan gas bumi berasal dari kawasan pesisir dan
lautan. Dari 60 cekungan yang potensial mengandung migas, 40 cekungan
terdapat di lepas pantai, 14 di pesisir, dan hanya enam di daratan.
Potensi cadangan minyak buminya 11,3 miliar barel dan gas 101,7 triliun
kaki kubik. Belum lama ini, ditemukan jenis energi baru pengganti BBM
berupa gas hidrat dan biogenik di lepas pantai barat Sumatra, selatan
Jawa Barat, dan bagian utara Selat Makassar, dengan potensi melebihi
seluruh potensi migas.
Dari hasil penelitian BPPT (1998) dari 60 cekungan minyak yang terkandung dalam alam Indonesia, sekitar 70% atau sekitar 40 cekungan terdapat di laut. Dari 40 cekungan itu 10 cekungan telah diteliti secara intensif, 11 baru diteliti sebagian, sedangkan 29 belum terjamah. Diperkirakan ke-40 cekungan itu berpotensi menghasilkan 106,2 miliar barel setara minyak, namun baru 16,7 miliar barel yang diketahui dengan pasti, 7,5 miliar barel di antaranya sudah dieksploitasi. Sedangkan sisanya sebesar 89,5 miliar barel berupa kekayaan yang belum terjamah. Cadangan minyak yang belum terjamah itu diperkirakan 57,3 miliar barel terkandung di lepas pantai, yang lebih dari separuhnya atau sekitar 32,8 miliar barel terdapat di laut dalam. Sementara itu untuk sumberdaya gas bumi, cadangan yang dimiliki Indonesia sampai dengan tahun 1998 mencapai 136,5 Triliun Kaki Kubik (TKK). Cadangan ini mengalami kenaikan bila dibandingkan tahun 1955 yang hanya sebesar 123,6 Triliun Kaki Kubik. Sedangkan Potensi kekayaan tambang dasar laut seperti aluminium, mangan, tembaga, zirconium, nikel, kobalt, biji besi non titanium, vanadium, dan lain sebagainya yang sampai sekarang belum teridentifikasi dengan baik sehingga diperlukan teknologi yang maju untuk mengembangkan potensi tersebut.
Sementra untuk pemanfaatan potensi minyak dan gas, data BP Migas
menyebutkan sejak 1997 hingga 2007, produksi minyak mentah mengalami
penurunan, meski pada 2008 produksi minyak kembali meningkat. Produksi
minyak pada 1997 menyentuh angka hampir 1.600.000 BOPD. Dari tahun ke
tahun terus menurun, dan pada 2007 mencapai angka 964.400 BPOD. Namun
secara perlahan seiring dengan ditemukannya beberapa sumur baru, mulai
2008 sudah ada tanda-tanda peningkatan, yakni naik menjadi 977.200 BPOD.
Produksi migas di Indonesia juga masih menemukan beberapa
kedala-kendala yang perlu mendapat perhatian. Kenyamanan para investor
dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas sangat
tergantung peran pemerintah. Jika pemerintah berhasil menegakkan hukum
dan undang-undang sesuai ketentuan yang berlaku, mungkin gangguan
eksternal di lingkungan migas tidak akan pernah ada. Masyarakat akan
tunduk dan patuh pada hukum. Penegakan hukum membuat orang takut dan
menimbulkan efek jera sehingga gangguan keamanan bagi investor pun dapat
diminimalisir. Penyampaian aspirasi atau tuntutan akan dilakukan sesuai
aturan yang berlaku tanpa merugikan investor.
Gangguan keamanan eksternal sering muncul akibat sejumlah
permasalahan yang terkait tuntutan pemerintah daerah terhadap pemerintah
pusat agar mereka memperoleh pendapatan dari kegiatan investasi migas
secara transparan. Tuntutan ini tak hanya berpotensi menjadi hambatan,
tetapi juga ancaman bagi kelangsungan investasi sektor migas. Sering
kali tuntutan ini dituangkan dalam bentuk demonstrasi dan pemblokiran
yang berujung pada penghentian aktivitas eksplorasi maupun ekspolitasi
migas.
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Dan Pulau-pulau kecil.
Pemerintah pernah menawarkan ke perusahan
pemerintah (BUMN) dan perusahan tambang untuk mengadopsi 20 pulau untuk penyediaan fasilitas sarana dan
prasarana perikanan dan kelautan.
Perusahaan tersebut antara lain adalah Conoco Philips, Premier Oil
Natuna Sea, Star Energy, International Nickel Indonesia (INCO), dan
Medco Energy. 20 pulau yang ditawarkan antara lain Pulau Lepar, Enggano,
Maradapan, Maratua, Sebatik, Siantan, Pasaran, Gangga, Samatellu Pedda,
dan lain-lain. Total investasi yang dibutuhkan untuk
program tersebut jumlahnya sekitar Rp 30 triliun.
Pemerintah lewat APBN hanya menyiapkan Rp 400-500 miliar. Sasaran yang ditujukan kepada perusahaan minyak tersebut karena perusahaan-perusahaan
asing ini hampir semua di laut dan pesisir.
Sekitar 65 persen kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi migas berlangsung di wilayah perairan pesisir dan
pulau-pulau kecil. Jumlah perusahaan mencapai 248 perusahaan. Jadi
diharapkan perusahaan migas tersebut bisa membantu pulau-pulau kecil di
Indonesia, agar ekonominya berkembang dengan sarana dan prasarana yang
lengkap untuk kehidupan ekonomi mereka.
Industri Perkapalan dan Pelayaran.
Industri Perkapalan dan Pelayaran.
Salah satu indikasi lain belum adanya visi maritim bisa dilihat dari
pertumbuhan sektor perkapalan dan pelayaran yang masih setengah hati.
Industri perkapalan dan pelayaran nasional harusnya menjadi tonggak
utama dalam mengoptimalkan potensi maritim Indonesia.
Pertumbuhan industri perkapalan dan pelayaran nasional masih terkendala berbagai faktor, baik dari sisi politik maupun pendanaan. Dukungan perbankan nasional terhadap industri kapal masih kecil. Meskipun bisnis industri perkapalan sangat mendorong pertumbuhan ekonomi di sektor maritim namun bank tak mau mengambil resiko terhadap bisnis ini sehingga menjadi kredit macet Produksi industri galangan kapal tahun 2010 ini diprediksi bakal meningkat mencapai 850.000 Dead Weight Ton (DWT).
Menurut data Direktorat Industri Maritim, Kedirgantaraan dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian, hingga tahun 2009, kapasitas produksi industri galangan kapal Indonesia sebesar 650.000 DWT. Peningkatan order ini salah satunya dipicu oleh adanya order pembuatan kapal dari Pertamina yang pada tahun 2010 memesan enam unit kapal dari industri galangan kapal dalam negeri. Bahkan, hingga tahun 2015 nanti, Pertamina berencana menambah 35 unit kapal tankernya. Pertamina mengubah paradigma dengan mengurangi kapal sewaan karena pengalaman tahun 2006 lalu saat terjadi bencana tsunami di Aceh, kapal sewaan tidak ada yang mau mengantar barang ke sana, padahal Pertamina sebagai agent of development pemerintah harus melakukan pengantaran ke daerah bencana.
Pertumbuhan industri perkapalan dan pelayaran nasional masih terkendala berbagai faktor, baik dari sisi politik maupun pendanaan. Dukungan perbankan nasional terhadap industri kapal masih kecil. Meskipun bisnis industri perkapalan sangat mendorong pertumbuhan ekonomi di sektor maritim namun bank tak mau mengambil resiko terhadap bisnis ini sehingga menjadi kredit macet Produksi industri galangan kapal tahun 2010 ini diprediksi bakal meningkat mencapai 850.000 Dead Weight Ton (DWT).
Menurut data Direktorat Industri Maritim, Kedirgantaraan dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian, hingga tahun 2009, kapasitas produksi industri galangan kapal Indonesia sebesar 650.000 DWT. Peningkatan order ini salah satunya dipicu oleh adanya order pembuatan kapal dari Pertamina yang pada tahun 2010 memesan enam unit kapal dari industri galangan kapal dalam negeri. Bahkan, hingga tahun 2015 nanti, Pertamina berencana menambah 35 unit kapal tankernya. Pertamina mengubah paradigma dengan mengurangi kapal sewaan karena pengalaman tahun 2006 lalu saat terjadi bencana tsunami di Aceh, kapal sewaan tidak ada yang mau mengantar barang ke sana, padahal Pertamina sebagai agent of development pemerintah harus melakukan pengantaran ke daerah bencana.
Pemerintah berupaya mendorong agar industri galangan kapal nasional
dapat menikmati pasar di dalam negeri yang terus berkembang. Terlebih
lagi, adanya kebijakan asas cabotage sebenarnya memberi peluang bagi
pelaku industri untuk meningkatkan produksi. Seperti diketahui, pada
Agustus 2010 empat galangan kapal nasional mendapat kepercayaan untuk
membangun lima unit kapal baru milik Pertamina senilai USD87,38 juta.
Kelima kapal baru yang dikerjakan di galangan PT PAL Indonesia, PT DPS,
PT DRU dan PT Dumas Tanjung Perak tersebut, berukuran dari 3.500 Long
Ton Dead Weight (LTDW), 6.500 LTDW, dan 17.500 LTDW.
Dari 35 unit kapal tanker Pertamina, sebanyak lima unit
kontrak pengerjaannya dilakukan pada tahun 2010, sementara sebanyak
30 unit kapal lainnya akan direalisasikan secara bertahap hingga tahun
2015 nanti. Dari 30 unit kapal tersebut, sebanyak 24 unit kapal akan
dibangun oleh industri galangan kapal dalam negeri, sedangkan sisanya
sebanyak enam unit kapal akan dibangun di luar negeri.
Untuk meningkatkan kapasitas galangan kapal menjadi 1,5 juta DWT dari
kapasitas saat ini sekitar 850 ribu DWT, dibutuhkan investasi yang
cukup besar. Rata-rata investasi yang dibutuhkan untuk satu unit kapal
sebesar USD24 juta. Dengan asumsi pengadaan 35 unit kapal, maka potensi
investasi dari Pertamina sebesar USD840 juta.
Pertambahan kapasitas akan dilakukan oleh beberapa perusahaan yaitu
PT Dok dan Perkapalan Surabaya (DPS), galangan Brondong Lamongan akan
menambah kapasitas sebesar 300 ribu DWT. Saat ini, pembangunan fasilitas
galangan kapal baru oleh DPS di Lamongan sudah mencapai 80% sehingga
akan ada tambahan kapasitas terpasang sebesar 300.000 DWT.Galangan
Lamongan sudah mampu menampung pesanan kapal Pertamina berukuran 17.500
hingga 30.000 DWT.
Di samping itu, PT Samudra Marine Indonesia juga akan menambah kapasitas galangan kapal Banten menjadi sekitar 150 ribu DWT – 200 ribu DWT. Saat ini kapasitas baru sekitar 100.000 DWT. Galangan kapal yang lain berada di Kepulauan Riau. Sementara itu, PT Dok Perkapalan Koja Bahari (DPKB), ekspansinya akan diarahkan untuk masuk dalam proyek elpiji Blok Masella, dan kemungkinan kapasitasnya akan tambah sekitar 300 ribu DWT. Pengerjaannya nanti bekerja sama dengan perusahaan Korea Selatan.
Di samping itu, PT Samudra Marine Indonesia juga akan menambah kapasitas galangan kapal Banten menjadi sekitar 150 ribu DWT – 200 ribu DWT. Saat ini kapasitas baru sekitar 100.000 DWT. Galangan kapal yang lain berada di Kepulauan Riau. Sementara itu, PT Dok Perkapalan Koja Bahari (DPKB), ekspansinya akan diarahkan untuk masuk dalam proyek elpiji Blok Masella, dan kemungkinan kapasitasnya akan tambah sekitar 300 ribu DWT. Pengerjaannya nanti bekerja sama dengan perusahaan Korea Selatan.
Sementara itu, Industri Dok dan Perkapalan serta Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) Jawa Timur menyatakan saat ini industri galangan kapal nasional khususnya di Jatim masih kebergantungan pada komponen mesin induk dan cadangan. Komponen mesin dan beberapa komponen lain yang dibutuhkan seperti alat navigasi, komunikasi, dan keselamatan saat ini masih harus impor dari luar negeri, khususnya dari Jepang.
Karena harus mendatangkan dari Jepang, tentunya akan membutuhkan
waktu yang cukup lama, terlebih pengirimannya sering terlambat. Hal
seperti inilah yang menghambat proses pembangunan kapal serta kinerja
industri galangan dalam negeri. Kondisi ini dinilai akan menghambat
pertumbuhan kinerja industri galangan kapal nasional, termasuk di Jatim.
Para pelaku industri galangan sudah sering menyampaikan hal itu, namun
hingga kini masih belum ada perusahaan permesinan pendukung industri
galangan kapal yang bisa memasok kebutuhan tersebut.
Dari Provinsi Kepulauan Riau dikabarkan pengembangan industri
galangan kapal atau shipyard di kawasan perdagangan berjas Karimun
terhadang konsep Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dalam perda RTRW
yang lama, daerah pesisir di zona perdagangan bebas atau free trade zone
(FTZ) merupakan kawasan hutan mangrove. Hal ini berbenturan dengan
konsep FTZ yang memplot beberapa kawasan menjadi daerah industri
galangan kapal. Pertentangan dua regulasi tersebut akan menghambat
pengembangan investasi karena Perda lama tidak relevan dan harus
direvisi.
Konsep RTRW di kawasan FTZ akan mempertimbangkan peraturan
internasional mengingat FTZ Karimun menjadi daerah tujuan investor asing
dan berada di perlintasan pelayaran Selat Malaka. Di pesisir pantai
kawasan FTZ, saat ini sudah berdiri beberapa perusahaan shipyard,
kawasan yang semula ditumbuhi hutan mangrove kini ditimbun untuk
dijadikan drydock industri perkapalan.
Beberapa perusahaan shipyard di Karimun antara lain PT Saipem Karimun
Yard, Multi Ocean Shipyard, dan PT Karimun Marine Shipyard. Perda
Karimun yang lama harus ssdirevisi karena tidak sesuai dengan regulasi
baru yang diterbitkan pemerintah pusat. RTRW yang dituangkan dalam perda
baru akan berlaku hingga tahun 2030.
Di sisi lain, perbankan nasional diharapkan mendukung pembiayaan
melalui skema khusus bagi industri galangan kapal nasional. Pasalnya,
belum ada kebijakan suku bunga khusus bagi pelaku usaha di sektor
perkapalan. Menurut Kemenperin, perbankan nasional dapat meningkatkan
dana kredit bagi industri galangan kapal, karena seiring dengan
pertumbuhan pasar dan produksi kapal-kapal baru. Kemenperin akan
memfasilitasi dengan mendorong adanya skema pembiayaan khusus kepada
industri galangan kapal nasional. Saat ini suku bunga bank yang
ditawarkan perbankan masih tinggi, di sisi lain fasilitas kredit
perbankan yang belum dimanfaatkan masih besar.
Menurut Soerjono, perbankan nasional dapat meningkatkan dana kredit
bagi industri galangan kapal, karena seiring dengan pertumbuhan pasar
dan produksi kapal-kapal baru. Soerjono menuturkan, Kemenperin akan
memfasilitasi dengan mendorong adanya skema pembiayaan khusus kepada
industri galangan kapal nasional. “Kami akan bicarakan lagi, dulu sempat
ada pertemuan dengan pihak Bank Indonesia dan perbankan. Saat ini suku
bunga bank yang ditawarkan mereka masih tinggi, di satu sisi fasilitas
kredit perbankan yang belum dimanfaatkan masih besar. Kami berharap ada
skema pembiayaan khusus,” tuturnya.
Pada tahun ini, lanjut Soerjono, utilisasi galangan kapal nasional
untuk produksi kapal-kapal baru berkisar 80 persen. Di mana, utilisasi
perusahaan galangan kapal skala kecil adalah sekiar 50-60 persen.
Soerjono menyatakan, pemerintah menargetkan kapasitas terpasang galangan
kapal nasional mencapai 1,5 juta dead weight tonnage (DWT) pada tahun
depan, atau naik dari tahun ini yang diproyeksikan hingga satu juta DWT.
Hingga akhir tahun ini, pemerintah optimistis kapasitas terpasang
galangan kapal nasional meningkat menjadi 850 ribu DWT hingga satu juta
DWT, dari sebelumnya yang hanya 650 ribu DWT.
Soerjono mengakui, selama 2005-2009, kapasitas terpasang galangan
kapal nasional hanya sebesar 650 ribu DWT. Sehingga, ujar dia,
pemerintah telah mengembangkan kawasan industri kapal nasional, seperti
di Lamongan, Banten, dan Riau. Saat ini, pembangunan fasilitas galangan
kapal baru oleh PT Dok dan Perkapalan Surabaya (DPS) di Lamongan sudah
persen mencapai 80 persen sehingga ada tambahan kapasitas terpasang
sebesar 300 ribu DWT. Galangan Lamongan mampu menampung pesanan kapal
Pertamina berukuran 17.500 hingga 30 ribu DWT.
Soerjono mengakui sulit untuk mengembangkan industri maritim ke depan
ini, apabila Pertamina sampai tidak menetapkan prioritas pembangunan
kapal di dalam negeri. Pasalnya, kata dia, galangan kapal nasional sudah
menyiapkan berbagai fasilitas yang dibutuhkan Pertamina. “Galangan
kapal Lamongan yang sudah bisa difungsikan tersebut, sebenarnya untuk
menangkap peluang dan kebutuhan pengadaan kapal-kapal baru Pertamina
pada 2011. Pertamina diharapkan tetap memprioritaskan industri
nasional,” tegas Soerjono.
Soerjono menerangkan, penyerapan BM-DTP untuk kapal selama 2010
rendah karena terkendala proses adminitrasi. Dimana proses pengajuannya
di birokrasi sulit. Selain masalah administrasi, rendahnya penyerapan di
sektor perkapalan juga terjadi karena banyaknya proyek-proyek yang
mundur ke 2010.
“Selama 2010, yang banyak memanfaatkan BM-DTP didominasi oleh kapal
tanker ukuran 3.500 DWT dan kapal yang diprouksi PT PAL ukuran 15.500
DWT. April kemungkinan ada tender kapal baru lagi. Kalau pagunya sudah
habis, diminta untuk anggaran 2012. Untuk 2011, bakal banyak
dimanfaatkan oleh produksi kapal baru dan untuk perbaikan relatif
kecil,” tandas Soerjono.
Kebutuhan kapal dalam negeri ini semakin meningkat. Seperti kebutuhan
untuk Alutsista Namun, investasi dari perbankan masih kurang. Mengupas
industri galangan kapal sebagai salah satu prospek industri yang
menjanjikan. “Industri perkapalan juga berperan sebagai infrastruktur
dari keberadaan pelabuhan. Sehingga sangat disayangkan jika industri
galangan kapal ini belum berkembang,” ujar Sekretaris Jenderal Indonesia
Shipbuilding and Offshore Association (IPERINDO), Ir Wing Wirjawan.