Forum Pers Pemerhati Pelanggaran Perikanan Nasional (FP4N) akhirnya menemukan modus terbaru yang digunakan oleh perusahaan perikanan yang ada dibeberapa daerah seperti Kabupaten Kepulauan Aru, Kota Tual, Kota Ambon, Kabupaten Merauke dan Kabupaten Natuna untuk menguras kekayaan laut di Indonesia. Modus yang digunakan tersebut adalah modus “illegal license”, yang mana arti dari “illegal license” adalah penyalahgunaan izin dan atau cara mendapatkan izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan aturan main.
Ketua FP4N, Ivan Rishky Kaya kepada Indonesia Maritime Magazine menjelaskan, terungkapnya modus “illegal license” ini setelah data-data yang diminta secara resmi dari beberapa instansi dan perusahaan perikanan serta hasil investigasi di lapangan yang kemudian dikaji maka ditemukanlah praktek yang sudah merugikan negara ratusan triliun rupiah ini.
“Kalau saat ini kita mendengar berbagai mafia seperti pajak, hukum, pemilu, maka dibidang perikanan diduga ada oknum-oknum tertentu di Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang bisa dikategorikan sebagai Sindikat dari Mafia Perikanan karena membekingi pelaku illegal license,” papar Ivan.
Ivan menjelaskan, yang dimaksud dengan illegal license adalah manipulasi izin atau penyalahgunaan izin. Kapal tangkap milik perusahaan perikanan yang beroperasi di Indonesia, sebagian besar hanya mengantongi izin formal dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang didapat dengan cara mudah, namun setelah melakukan impor kapal asing, mereka (perusahaan perikanan yang beroperasi di Indonesia) tidak membangun atau mengembangkan industrinya yang mengakibatkan daerah-daerah sentra tangkapan (Laut Arafura, Laut Natuna, Laut Banda, Laut Maluku dan Laut Papua) tetap menjadi daerah miskin. Jika ada, izin tersebut didapati dengan cara-cara yang tidak sesuai mekanisme atau tidak sesuai aturan yang berlaku.
Selain itu, dengan adanya tindakan dari oknum-oknum di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang sengaja menjual belikan perizinan impor kapal asing kepada perusahaan yang tidak berbasis industri serta Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), tanpa melalui prosedur yang sebenarnya, menyebabkan industri perikanan di Indonesia akan mati dengan sendirinya.
Dari fakta dilapangan banyak terjadi penyimpangan terhadap Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2008 juncto Nomor 12 Tahun 2009 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Didalam Permen tersebut menjelaskan bagaimana proses penerbitan baru Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP-I), Surat Izin Usaha Perikanan Penanaman Modal (SIUP-PM), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI). Namun, ada beberapa proses yang tidak sesuai realita, tetapi dengan sengaja oknum aparat di Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia membiarkan hal itu terjadi.
Sebagai contoh, mekanisme untuk mendapatkan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP-I dan SIUP-PM) diawali dengan Perusahaan Perikanan mengajukan surat konfirmasi alokasi ke BKPM dan diteruskan ke Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap c.q Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan yang nantinya dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk mendapatkan izin tersebut diterima oleh Subdit Verifikasi Dokumen Penangkapan Ikan yang selanjutnya diteruskan ke Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan untuk dikoordinasikan yang selanjutnya membentuk Tim Pemeriksaan Aset dan Verifikasi Usaha Perikanan Tangkap Terpadu yang nantinya akan mengeluarkan rekomendasi hasil verifikasi, dan diserahkan kembali ke Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan yang nantinya Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan mengeluarkan rekomendasi pemeriksaan aset dan verifikasi apakah layak atau tidak untuk diberikan izin.
Jika tidak layak, maka izin tidak diberikan, namun jika layak maka prosesnya akan berlanjut ke persetujuan dirjen untuk alokasi RAPIPM dengan cara mengeluarkan atau cetak RAPIPM, kemudian diteruskan lagi ke tahap pembuatan SPPM oleh BKPM yang nantinya diserahkan ke pihak pemohon izin untuk kemudian dibuat permohonan SIUP-PM. Setelah permohonan SIUP-PM dibuat oleh perusahaan perikanan, maka akan diserahkan ke Subdit Verifikasi Dokumen Penangkapan Ikan untuk diperiksa dokumennya. Jika tidak lengkap maka akan dikembalikan ke pihak pemohon yakni perusahaan perikanan, jika lengkap maka dilanjutkan ketahap verifikasi dokumen SIUP-PM yang nantinya jika sesuai maka akan dibuat rekomendasi hasil verifikasi yang kemudian diteruskan ke Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan.
Setelah rekomendasi hasil verifikasi diterima selanjutnya Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan akan menginput data dan cetak draft SIUP-PM. Setelah draft SIUP-PM dicetak, tahap selanjutnya perhitungan dan penetapan PPP, input data PPP dan cetak SPP-PPP yang kemudian diserahkan lagi ke pihak pemohon yakni perusahaan perikanan untuk melakukan pembayaran PPP di bank dengan membawa Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP). Setelah pembayaran PPP, SSBP lembar ke 5 diserahkan ke Subdit Tata Pengusahaan Dokumen Penangkapan Ikan untuk pengesahan validasi SSBP lembar ke 5 tersebut. Selanjutnya SSBP lembar ke 5 tersebut digabungkan dengan dokumen SIUP-PM dan diserahkan ke Subdit Pelayanan Dokumen Penangkapan Ikan untuk cetak copy SIUP-PM, pemeriksaan final hingga cetak SIUP-PM. Setelah SIUP-PM dicetak, diserahkan ke Direktur Jenderal untuk ditandatangani dan setelah ditandatangani diserahkan kembali ke pihak pemohon SIUP-I dan SIUP-PM yakni perusahaan perikanan.
“SIUP-I dan SIUP-PM adalah izin yang paling utama untuk seorang pengusaha bisa menjalankan bisnisnya dibidang perikanan, sebab izin-izin lainya (SIPI dan SIKPI) bisa didapat apabila sudah mengantongi SIUP-I dan SIUP-PM,” tutur Ivan.
Namun apa boleh dikata, kongkalikong dan izin operasi kapal ikan terus mengalir tanpa mengikuti prosedur yang tertuang dalam aturan main yang berlaku, yang mana dalam proses permohonan pengajuan alokasi hingga terbitnya SIUP-I, SIUP-PM terdapat praktek manipulasi.
Bukti dari penyalahgunaan prosedur terlihat pada saat permohonan pengajuan alokasi. Perusahaan perikanan yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan SIUP-I, SIUP-PM menggunakan proposal dengan kapasitas industri yang terpasang dan rencana pembangunan industri.
“Jika berbicara tentang sebuah industri, apalagi mengenai industri perikanan, maka proposalnya akan menerangkan tentang investasi dalam bentuk sebuah industri. Dari investasi sebuah industri tersebut, akan dijelaskan tentang beberapa hal yakni jumlah investasi, kapasitas produksi dan rencana kerja industri perikanan tersebut. Sedangkan untuk jumlah investasi, sudah tentu realisasi investasinya terlihat nyata. Namun jika berbicara tentang kapasitas produksi, maka didalam proposal tersebut akan berbicara mengenai jumlah kapal dan jenis produksi yang dibagi menjadi dua bagian yakni hasil produksi yang akan diekspor dalam bentuk untuh atau tidak diolah dan diekspor dalam bentuk produk olahan. Kalau mengenai rencana kerja, akan menjelaskan tentang Cash Flow Projection, Output Produk, Pendapatan (dari ekspor dan penjualan dalam negeri) serta tenaga kerja,” papar Ivan yang adalah pria kelahiran Kota Ambon Provinsi Maluku.
Namun yang terjadi adalah sejak izin diberikan tidak terlihat fisik dari sebuah industri tersebut dibangun, jumlah tenaga kerja lokal tidak masuk akal (sangat sedikit), kapal-kapalnya misterius dalam artian kapal berlayar tidak tahu kapan masuk dan keluarnya kapal tersebut, kapal berlayar berbulan-bulan bahkan sampai sembilan bulan namun hasil tangkapan sebanding dengan kapal yang berlayar hanya satu bulan. Selain itu terindikasi menggunakan dan atau membeli BBM illegal ditengah laut dikarenakan kapal yang berlayar berbulan-bulan mengisi BBMnya sangat sedikit, bahkan hasil tangkapan ada yang tidak didaratkan.
Bukan hanya itu, menurut Ivan, pada saat Tim Pemeriksaan aset memverifikasi data dan aset industri yang sebenarnya adalah tidak sesuai. Bahkan pada saat evaluasi tahunan, pembangunan industri diduga sengaja dilupakan karena tidak dipertanyakan. “Hal ini harus segera kita berantas agar masyarakat kecil di Indonesia tidak lagi hidup dibawah garis kemiskinan,” ketus Ivan dengan nada geram.
Lebih jauh Ivan mengatakan, permasalahan yang ditemukan saat ini adalah ada indikasi pengusaha yang suka mencuri ikan di perairan Indonesia dibekingi oleh oknum aparat penegak hukum, dan hal inilah yang menjadi salah satu kendala utama mengapa hingga saat ini illegal fishing dan illegal license sulit diberantas.
Menurut Ivan, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dibawah komando Fadel Muhammad selama ini hanya menggembar-gomborkan perberantasan illegal fishing yang cenderung hanya terjadi di perbatasan, sedangkan illegal license bukan hanya mengkorupsi hak negara atas laut, tapi secara nyata kapal asing beroperasi dengan memanipulasi perizinan oleh perusahaan hitam yang berkongsi dengan oknum pejabat KKP. Selain itu kapal-kapal tersebut berkapasitas daya tangkap diatas ratusan ton yang beroperasi di perairan Indonesia dan bukan diperbatasan. Bahkan, kapal-kapal yang beroperasi dengan modus illegal license lolos dari pengawasan patroli karena memiliki semua persyaratan, namun diperoleh dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan untuk beroperasi (menangkap ikan).
Kongkalikong Mafia Perikanan “Perusahaan Hitam Berkerah Putih”
DARI hasil kajian yang dilakukan Forum Pers Pemerhati Pelanggaran Perikanan Nasional (FP4N) untuk mengetahui kondisi dunia perikanan di Indonesia dengan sampel beberapa daerah seperti Kota Ambon, Kota Tual, Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Merauke dan Kabupaten Natuna, ternyata terindikasi adanya praktek manipulatif yang merugikan negara ratusan triliun dan dilakukan oleh perusahaan perikanan yang masuk dalam kategori “Perusahaan Hitam Berkerah Putih”.
Ketua FP4N, Ivan Rishky Kaya menunjukkan daftar Perusahaan Hitam Berkerah Putih yang merupakan lampiran dalam buku berjudul Rekomendasi dan Temuan Adanya Indikasi Praktek Mafia Perikanan Dan Praktek Manipulatif Pemberian Izin Eks Kapal Asing Kepada Perusahaan Perikanan Di Indonesia Yang Tidak Berbasis Industri dan Fiktif yang juga diberikan kepada Indonesia Maritime Magazine.
Sementara itu, kata Ivan, praktek yang dilakukan “Perusahaan Hitam Berkerah Putih” tergolong cantik dan bervariasi serta tidak diketahui oleh publik dikarenakan semua kapal milik perusahaan tersebut mengantongi izin yang sah dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia (RI). Hanya saja, proses untuk mendapatkan izin berupa Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) tidak sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun 2008 juncto Nomor 12 Tahun 2009 tentang Usaha Perikanan Tangkap.
“Sebagai contoh, temuan FP4N saat Rapat Koordinasi dan Evaluasi Intervensi Program Minapolitan yang digelar di Swissbel hotel Ambon tanggal 19 April 2011 lalu, terungkap salah satu perusahaan yang berpangkalan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon yakni PT. Sumber Laut Utama belum mempunyai Unit Pengolahan Ikan (UPI). Padahal, didalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun 2008 junto Nomor 12 Tahun 2009 tentang Usaha Perikanan Tangkap mengatur tentang tatacara untuk mendapatkan izin-izin baik itu berupa SIUP, SIPI dan SIKPI mewajibkan harus memiliki UPI” kata Ivan dalam nada geram.
Ivan juga menuturkan bahwa yang lebih tidak masuk akal lagi, hal ini (tidak mempunyai UPI) terbongkar saat Direktur Jenderal (Dirjen) Perikanan Tangkap KKP RI, Dr. Ir. Dedy Heryadi Sutisna, MS menanyakan apakah PT. Sumber Laut Utama sudah memiliki coldstorage dan Unit Pengolahan Ikan. Menurut Ivan, Ini merupakan sebuah kejadian yang sangat mustahil dimana seorang Dirjen Perikanan Tangkap KKP RI, Dr. Ir. Dedy Heryadi Sutisna, MS menanyakan hal tersebut (tidak mempunyai UPI) kepada pihak PT. Sumber Laut Utama sementara yang menandatangani ijin-ijin tersebut adalah Dirjen Perikanan Tangkap KKP RI itu sendiri.
Lebih parahnya lagi, perusahaan yang sudah mengoperasikan 17 kapal penangkap ikan ini (PT. Sumber Laut Utama) mengakui belum memiliki UPI, namun sudah mengajukan permohonan kepada pihak Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon untuk menyewa UPI dan atau Cold storage pelabuhan milik pemerintah tersebut, padahal kapal-kapal milik PT. Sumber Laut Utama ini sudah beroperasi setahun lebih.
“Dengan demikian fasilitas milik Pemerintah seperti Pelabuhan Perikanan Nusantara hanya disewa oleh perusahaan perikanan yang mengakibatkan perusahaan tersebut tidak membangun industri nyata yang nantinya berdampak kepada daerah dan perekrutan tenaga kerja” papar Ivan.
Lebih jauh Ivan mengatakan, selain tidak mempunyai UPI, ada juga perusahaan perikanan yang menggunakan alamat perusahaan atau industri perikanannya fiktif. Perusahaan tersebut bernama PT. Maju Bersama Jaya yang mempunyai kapal penangkap sebanyak 27 unit dan 1 kapal tramper atau pengangkut serta sudah beroperasi kurang lebih 2 tahun. Perusahaan ini (PT. Maju Bersama Jaya) telah mengantongi Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP-I) dari Ditjen Perikanan Tangkap KKP RI pada tanggal 13 April 2011 dengan nomor SIUP-I yaitu 01.04.02.0351.4863 yang diterbitkan diatas blangko bernomor A004073 beserta 2 lembar lampiran SIUP-I yang diterbitkan diatas blangko bernomor B004959 (lampiran 1) dan blangko bernomor B004960 (lampiran 2) yang masa berlakunya sampai dengan 30 Januari 2038 dan ditandatangani Dirjen Perikanan Tangkap KKP RI, Dr. Ir. Dedy Heryadi Sutisna, MS.
Namun apa boleh dikata, praktek mendapatkan izin dengan gampang dari KKP RI ini ditemukan FP4N ketika mengantongi dan mencari tahu kebenaran alamat dari PT. Maju Bersama Jaya yang berlokasi di Jalan Dullah Raya Desa Ngadi Km. 08 Kota Tual Provinsi Maluku (sesuai alamat yang tercantum didalam SIUP-I tersebut). Sesampainya tim FP4N di lokasi tersebut, ternyata perusahaan dengan nama penanggung jawab Daniel dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 02.239.554.5-941.000 tidak ada batang hidungnya atau fisik bangunan dari perusahaan tersebut tidak ada.
Padahal, SIUP-I bernomor 01.04.02.0351.4863 ini merupakan revisi ke 7 dari IUP sebelumnya yang diterbitkan tanggal 25 Nopember 2009 yang dinyatakan tidak berlaku lagi, dengan referensi Surat Permohonan SIUP-I : Perubahan bernomor 004/MBJ/XII/2010 tertanggal 22 Februari 2011 dan tanggal terima SSBP lunas yakni pada tanggal 13 April 2011 dengan jenis kegiatan penangkapan dan pengangkutan (sesuai yang tertera pada kolom catatan SIUP-I milik PT. Maju Bersama Jaya).
Bukan hanya itu, setelah ditelusuri ternyata PT. Maju Bersama Jaya sedang terlibat masalah karena salah satu kapal milik PT. Maju Bersama Jaya melakukan transshipment dengan kapal pengangkut asing dilaut Papua New Guinea.
“Mengenai permasalahan belum mempunyai UPI dan perusahaan perikanan atau industri perikanannya fiktif namun diberikan izin serta alokasi kapal tangkap impor eks asing dari KKP RI, FP4N meminta aparat penegak hukum baik itu KPK dan lainnya, dapat menyelidiki praktek tersebut yang dimulai dari KKP RI hingga ke perusahaan perikanan itu sendiri. Sebab hal ini tidak akan terjadi apabila tidak ada oknum-oknum di KKP RI yang “bermain mata” dengan kedua perusahaan ini (PT. Sumber Laut Utama dan PT. Maju Bersama Jaya) sampai izin-izin tersebut dapat mereka kantongi,” kata pria kelahiran Kota Ambon, Provinsi Maluku.
Bukan hanya itu, Ivan juga menjelaskan, kalau permasalahan ini (tidak mempunyai UPI serta perusahaan atau industri perikanannya fiktif) namun diberikanan izin dari KKP RI, merupakan dua temuan dari berbagai temuan manipulatif lainnya yang dilakukan ratusan bahkan bisa ribuan kapal milik puluhan perusahaan perikanan yang ada di beberapa daerah yang menjadi sampel dari FP4N.
“Ini hanya 2 temuan dari berbagai temuan yang ditemukan FP4N untuk diketahui publik. Sebab masih ada temuan-temuan lainnya yang akan kita (FP4N) buka agar publik mengetahui sepak terjang dari perusahaan hitam berkerah putih serta adanya keterlibatan oknum-oknum di KKP RI yang dengan gampang memberikan izin baik itu SIUP, SIPI dan SIKPI serta izin menggunakan fasilitas milik pemerintah (fasilitas pelabuhan pemerintah) oleh perusahaan hitam berkerah putih dengan cara disewakan yang jelas sangat merugikan negara” tutup Ivan.
Ketua FP4N, Ivan Rishky Kaya kepada Indonesia Maritime Magazine menjelaskan, terungkapnya modus “illegal license” ini setelah data-data yang diminta secara resmi dari beberapa instansi dan perusahaan perikanan serta hasil investigasi di lapangan yang kemudian dikaji maka ditemukanlah praktek yang sudah merugikan negara ratusan triliun rupiah ini.
“Kalau saat ini kita mendengar berbagai mafia seperti pajak, hukum, pemilu, maka dibidang perikanan diduga ada oknum-oknum tertentu di Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang bisa dikategorikan sebagai Sindikat dari Mafia Perikanan karena membekingi pelaku illegal license,” papar Ivan.
Ivan menjelaskan, yang dimaksud dengan illegal license adalah manipulasi izin atau penyalahgunaan izin. Kapal tangkap milik perusahaan perikanan yang beroperasi di Indonesia, sebagian besar hanya mengantongi izin formal dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang didapat dengan cara mudah, namun setelah melakukan impor kapal asing, mereka (perusahaan perikanan yang beroperasi di Indonesia) tidak membangun atau mengembangkan industrinya yang mengakibatkan daerah-daerah sentra tangkapan (Laut Arafura, Laut Natuna, Laut Banda, Laut Maluku dan Laut Papua) tetap menjadi daerah miskin. Jika ada, izin tersebut didapati dengan cara-cara yang tidak sesuai mekanisme atau tidak sesuai aturan yang berlaku.
Selain itu, dengan adanya tindakan dari oknum-oknum di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang sengaja menjual belikan perizinan impor kapal asing kepada perusahaan yang tidak berbasis industri serta Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), tanpa melalui prosedur yang sebenarnya, menyebabkan industri perikanan di Indonesia akan mati dengan sendirinya.
Dari fakta dilapangan banyak terjadi penyimpangan terhadap Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2008 juncto Nomor 12 Tahun 2009 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Didalam Permen tersebut menjelaskan bagaimana proses penerbitan baru Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP-I), Surat Izin Usaha Perikanan Penanaman Modal (SIUP-PM), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI). Namun, ada beberapa proses yang tidak sesuai realita, tetapi dengan sengaja oknum aparat di Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia membiarkan hal itu terjadi.
Sebagai contoh, mekanisme untuk mendapatkan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP-I dan SIUP-PM) diawali dengan Perusahaan Perikanan mengajukan surat konfirmasi alokasi ke BKPM dan diteruskan ke Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap c.q Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan yang nantinya dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk mendapatkan izin tersebut diterima oleh Subdit Verifikasi Dokumen Penangkapan Ikan yang selanjutnya diteruskan ke Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan untuk dikoordinasikan yang selanjutnya membentuk Tim Pemeriksaan Aset dan Verifikasi Usaha Perikanan Tangkap Terpadu yang nantinya akan mengeluarkan rekomendasi hasil verifikasi, dan diserahkan kembali ke Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan yang nantinya Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan mengeluarkan rekomendasi pemeriksaan aset dan verifikasi apakah layak atau tidak untuk diberikan izin.
Jika tidak layak, maka izin tidak diberikan, namun jika layak maka prosesnya akan berlanjut ke persetujuan dirjen untuk alokasi RAPIPM dengan cara mengeluarkan atau cetak RAPIPM, kemudian diteruskan lagi ke tahap pembuatan SPPM oleh BKPM yang nantinya diserahkan ke pihak pemohon izin untuk kemudian dibuat permohonan SIUP-PM. Setelah permohonan SIUP-PM dibuat oleh perusahaan perikanan, maka akan diserahkan ke Subdit Verifikasi Dokumen Penangkapan Ikan untuk diperiksa dokumennya. Jika tidak lengkap maka akan dikembalikan ke pihak pemohon yakni perusahaan perikanan, jika lengkap maka dilanjutkan ketahap verifikasi dokumen SIUP-PM yang nantinya jika sesuai maka akan dibuat rekomendasi hasil verifikasi yang kemudian diteruskan ke Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan.
Setelah rekomendasi hasil verifikasi diterima selanjutnya Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan akan menginput data dan cetak draft SIUP-PM. Setelah draft SIUP-PM dicetak, tahap selanjutnya perhitungan dan penetapan PPP, input data PPP dan cetak SPP-PPP yang kemudian diserahkan lagi ke pihak pemohon yakni perusahaan perikanan untuk melakukan pembayaran PPP di bank dengan membawa Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP). Setelah pembayaran PPP, SSBP lembar ke 5 diserahkan ke Subdit Tata Pengusahaan Dokumen Penangkapan Ikan untuk pengesahan validasi SSBP lembar ke 5 tersebut. Selanjutnya SSBP lembar ke 5 tersebut digabungkan dengan dokumen SIUP-PM dan diserahkan ke Subdit Pelayanan Dokumen Penangkapan Ikan untuk cetak copy SIUP-PM, pemeriksaan final hingga cetak SIUP-PM. Setelah SIUP-PM dicetak, diserahkan ke Direktur Jenderal untuk ditandatangani dan setelah ditandatangani diserahkan kembali ke pihak pemohon SIUP-I dan SIUP-PM yakni perusahaan perikanan.
“SIUP-I dan SIUP-PM adalah izin yang paling utama untuk seorang pengusaha bisa menjalankan bisnisnya dibidang perikanan, sebab izin-izin lainya (SIPI dan SIKPI) bisa didapat apabila sudah mengantongi SIUP-I dan SIUP-PM,” tutur Ivan.
Namun apa boleh dikata, kongkalikong dan izin operasi kapal ikan terus mengalir tanpa mengikuti prosedur yang tertuang dalam aturan main yang berlaku, yang mana dalam proses permohonan pengajuan alokasi hingga terbitnya SIUP-I, SIUP-PM terdapat praktek manipulasi.
Bukti dari penyalahgunaan prosedur terlihat pada saat permohonan pengajuan alokasi. Perusahaan perikanan yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan SIUP-I, SIUP-PM menggunakan proposal dengan kapasitas industri yang terpasang dan rencana pembangunan industri.
“Jika berbicara tentang sebuah industri, apalagi mengenai industri perikanan, maka proposalnya akan menerangkan tentang investasi dalam bentuk sebuah industri. Dari investasi sebuah industri tersebut, akan dijelaskan tentang beberapa hal yakni jumlah investasi, kapasitas produksi dan rencana kerja industri perikanan tersebut. Sedangkan untuk jumlah investasi, sudah tentu realisasi investasinya terlihat nyata. Namun jika berbicara tentang kapasitas produksi, maka didalam proposal tersebut akan berbicara mengenai jumlah kapal dan jenis produksi yang dibagi menjadi dua bagian yakni hasil produksi yang akan diekspor dalam bentuk untuh atau tidak diolah dan diekspor dalam bentuk produk olahan. Kalau mengenai rencana kerja, akan menjelaskan tentang Cash Flow Projection, Output Produk, Pendapatan (dari ekspor dan penjualan dalam negeri) serta tenaga kerja,” papar Ivan yang adalah pria kelahiran Kota Ambon Provinsi Maluku.
Namun yang terjadi adalah sejak izin diberikan tidak terlihat fisik dari sebuah industri tersebut dibangun, jumlah tenaga kerja lokal tidak masuk akal (sangat sedikit), kapal-kapalnya misterius dalam artian kapal berlayar tidak tahu kapan masuk dan keluarnya kapal tersebut, kapal berlayar berbulan-bulan bahkan sampai sembilan bulan namun hasil tangkapan sebanding dengan kapal yang berlayar hanya satu bulan. Selain itu terindikasi menggunakan dan atau membeli BBM illegal ditengah laut dikarenakan kapal yang berlayar berbulan-bulan mengisi BBMnya sangat sedikit, bahkan hasil tangkapan ada yang tidak didaratkan.
Bukan hanya itu, menurut Ivan, pada saat Tim Pemeriksaan aset memverifikasi data dan aset industri yang sebenarnya adalah tidak sesuai. Bahkan pada saat evaluasi tahunan, pembangunan industri diduga sengaja dilupakan karena tidak dipertanyakan. “Hal ini harus segera kita berantas agar masyarakat kecil di Indonesia tidak lagi hidup dibawah garis kemiskinan,” ketus Ivan dengan nada geram.
Lebih jauh Ivan mengatakan, permasalahan yang ditemukan saat ini adalah ada indikasi pengusaha yang suka mencuri ikan di perairan Indonesia dibekingi oleh oknum aparat penegak hukum, dan hal inilah yang menjadi salah satu kendala utama mengapa hingga saat ini illegal fishing dan illegal license sulit diberantas.
Menurut Ivan, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dibawah komando Fadel Muhammad selama ini hanya menggembar-gomborkan perberantasan illegal fishing yang cenderung hanya terjadi di perbatasan, sedangkan illegal license bukan hanya mengkorupsi hak negara atas laut, tapi secara nyata kapal asing beroperasi dengan memanipulasi perizinan oleh perusahaan hitam yang berkongsi dengan oknum pejabat KKP. Selain itu kapal-kapal tersebut berkapasitas daya tangkap diatas ratusan ton yang beroperasi di perairan Indonesia dan bukan diperbatasan. Bahkan, kapal-kapal yang beroperasi dengan modus illegal license lolos dari pengawasan patroli karena memiliki semua persyaratan, namun diperoleh dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan untuk beroperasi (menangkap ikan).
Kongkalikong Mafia Perikanan “Perusahaan Hitam Berkerah Putih”
DARI hasil kajian yang dilakukan Forum Pers Pemerhati Pelanggaran Perikanan Nasional (FP4N) untuk mengetahui kondisi dunia perikanan di Indonesia dengan sampel beberapa daerah seperti Kota Ambon, Kota Tual, Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Merauke dan Kabupaten Natuna, ternyata terindikasi adanya praktek manipulatif yang merugikan negara ratusan triliun dan dilakukan oleh perusahaan perikanan yang masuk dalam kategori “Perusahaan Hitam Berkerah Putih”.
Ketua FP4N, Ivan Rishky Kaya menunjukkan daftar Perusahaan Hitam Berkerah Putih yang merupakan lampiran dalam buku berjudul Rekomendasi dan Temuan Adanya Indikasi Praktek Mafia Perikanan Dan Praktek Manipulatif Pemberian Izin Eks Kapal Asing Kepada Perusahaan Perikanan Di Indonesia Yang Tidak Berbasis Industri dan Fiktif yang juga diberikan kepada Indonesia Maritime Magazine.
Sementara itu, kata Ivan, praktek yang dilakukan “Perusahaan Hitam Berkerah Putih” tergolong cantik dan bervariasi serta tidak diketahui oleh publik dikarenakan semua kapal milik perusahaan tersebut mengantongi izin yang sah dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia (RI). Hanya saja, proses untuk mendapatkan izin berupa Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) tidak sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun 2008 juncto Nomor 12 Tahun 2009 tentang Usaha Perikanan Tangkap.
“Sebagai contoh, temuan FP4N saat Rapat Koordinasi dan Evaluasi Intervensi Program Minapolitan yang digelar di Swissbel hotel Ambon tanggal 19 April 2011 lalu, terungkap salah satu perusahaan yang berpangkalan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon yakni PT. Sumber Laut Utama belum mempunyai Unit Pengolahan Ikan (UPI). Padahal, didalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun 2008 junto Nomor 12 Tahun 2009 tentang Usaha Perikanan Tangkap mengatur tentang tatacara untuk mendapatkan izin-izin baik itu berupa SIUP, SIPI dan SIKPI mewajibkan harus memiliki UPI” kata Ivan dalam nada geram.
Ivan juga menuturkan bahwa yang lebih tidak masuk akal lagi, hal ini (tidak mempunyai UPI) terbongkar saat Direktur Jenderal (Dirjen) Perikanan Tangkap KKP RI, Dr. Ir. Dedy Heryadi Sutisna, MS menanyakan apakah PT. Sumber Laut Utama sudah memiliki coldstorage dan Unit Pengolahan Ikan. Menurut Ivan, Ini merupakan sebuah kejadian yang sangat mustahil dimana seorang Dirjen Perikanan Tangkap KKP RI, Dr. Ir. Dedy Heryadi Sutisna, MS menanyakan hal tersebut (tidak mempunyai UPI) kepada pihak PT. Sumber Laut Utama sementara yang menandatangani ijin-ijin tersebut adalah Dirjen Perikanan Tangkap KKP RI itu sendiri.
Lebih parahnya lagi, perusahaan yang sudah mengoperasikan 17 kapal penangkap ikan ini (PT. Sumber Laut Utama) mengakui belum memiliki UPI, namun sudah mengajukan permohonan kepada pihak Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon untuk menyewa UPI dan atau Cold storage pelabuhan milik pemerintah tersebut, padahal kapal-kapal milik PT. Sumber Laut Utama ini sudah beroperasi setahun lebih.
“Dengan demikian fasilitas milik Pemerintah seperti Pelabuhan Perikanan Nusantara hanya disewa oleh perusahaan perikanan yang mengakibatkan perusahaan tersebut tidak membangun industri nyata yang nantinya berdampak kepada daerah dan perekrutan tenaga kerja” papar Ivan.
Lebih jauh Ivan mengatakan, selain tidak mempunyai UPI, ada juga perusahaan perikanan yang menggunakan alamat perusahaan atau industri perikanannya fiktif. Perusahaan tersebut bernama PT. Maju Bersama Jaya yang mempunyai kapal penangkap sebanyak 27 unit dan 1 kapal tramper atau pengangkut serta sudah beroperasi kurang lebih 2 tahun. Perusahaan ini (PT. Maju Bersama Jaya) telah mengantongi Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP-I) dari Ditjen Perikanan Tangkap KKP RI pada tanggal 13 April 2011 dengan nomor SIUP-I yaitu 01.04.02.0351.4863 yang diterbitkan diatas blangko bernomor A004073 beserta 2 lembar lampiran SIUP-I yang diterbitkan diatas blangko bernomor B004959 (lampiran 1) dan blangko bernomor B004960 (lampiran 2) yang masa berlakunya sampai dengan 30 Januari 2038 dan ditandatangani Dirjen Perikanan Tangkap KKP RI, Dr. Ir. Dedy Heryadi Sutisna, MS.
Namun apa boleh dikata, praktek mendapatkan izin dengan gampang dari KKP RI ini ditemukan FP4N ketika mengantongi dan mencari tahu kebenaran alamat dari PT. Maju Bersama Jaya yang berlokasi di Jalan Dullah Raya Desa Ngadi Km. 08 Kota Tual Provinsi Maluku (sesuai alamat yang tercantum didalam SIUP-I tersebut). Sesampainya tim FP4N di lokasi tersebut, ternyata perusahaan dengan nama penanggung jawab Daniel dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 02.239.554.5-941.000 tidak ada batang hidungnya atau fisik bangunan dari perusahaan tersebut tidak ada.
Padahal, SIUP-I bernomor 01.04.02.0351.4863 ini merupakan revisi ke 7 dari IUP sebelumnya yang diterbitkan tanggal 25 Nopember 2009 yang dinyatakan tidak berlaku lagi, dengan referensi Surat Permohonan SIUP-I : Perubahan bernomor 004/MBJ/XII/2010 tertanggal 22 Februari 2011 dan tanggal terima SSBP lunas yakni pada tanggal 13 April 2011 dengan jenis kegiatan penangkapan dan pengangkutan (sesuai yang tertera pada kolom catatan SIUP-I milik PT. Maju Bersama Jaya).
Bukan hanya itu, setelah ditelusuri ternyata PT. Maju Bersama Jaya sedang terlibat masalah karena salah satu kapal milik PT. Maju Bersama Jaya melakukan transshipment dengan kapal pengangkut asing dilaut Papua New Guinea.
“Mengenai permasalahan belum mempunyai UPI dan perusahaan perikanan atau industri perikanannya fiktif namun diberikan izin serta alokasi kapal tangkap impor eks asing dari KKP RI, FP4N meminta aparat penegak hukum baik itu KPK dan lainnya, dapat menyelidiki praktek tersebut yang dimulai dari KKP RI hingga ke perusahaan perikanan itu sendiri. Sebab hal ini tidak akan terjadi apabila tidak ada oknum-oknum di KKP RI yang “bermain mata” dengan kedua perusahaan ini (PT. Sumber Laut Utama dan PT. Maju Bersama Jaya) sampai izin-izin tersebut dapat mereka kantongi,” kata pria kelahiran Kota Ambon, Provinsi Maluku.
Bukan hanya itu, Ivan juga menjelaskan, kalau permasalahan ini (tidak mempunyai UPI serta perusahaan atau industri perikanannya fiktif) namun diberikanan izin dari KKP RI, merupakan dua temuan dari berbagai temuan manipulatif lainnya yang dilakukan ratusan bahkan bisa ribuan kapal milik puluhan perusahaan perikanan yang ada di beberapa daerah yang menjadi sampel dari FP4N.
“Ini hanya 2 temuan dari berbagai temuan yang ditemukan FP4N untuk diketahui publik. Sebab masih ada temuan-temuan lainnya yang akan kita (FP4N) buka agar publik mengetahui sepak terjang dari perusahaan hitam berkerah putih serta adanya keterlibatan oknum-oknum di KKP RI yang dengan gampang memberikan izin baik itu SIUP, SIPI dan SIKPI serta izin menggunakan fasilitas milik pemerintah (fasilitas pelabuhan pemerintah) oleh perusahaan hitam berkerah putih dengan cara disewakan yang jelas sangat merugikan negara” tutup Ivan.
0 komentar:
Posting Komentar