31/01/12

Laut China Selatan

Pangkal persoalan Laut China Selatan disebabkan adanya perkiraan cadangan minyak dan gas di Kepulauan Spratly yang besar. Analisis Clive Schofield dan Ian Storey di asiaquarterly .com menyebut 1-2 miliar barrel minyak dan 225 tcf (triliun cubic feet) gas alam.

Sementara estimasi lembaga statistic Amerika Serikat, Energy Information Administration (ELA) menyatakan di bawah Spratly terdapat sedikitnya 7 miliar barrel minyak dan 150,3 tcf (triliun cubic feet) gas alam.

Negara-negara yang berkepantingan atas cadangan migas di Laut China Selatan a.l. Brunei, China, Malaysia, Filipina, Taiwan, Thailand dan Vietnam. Dua negara yang paling kaya cadangan migas adalah Malaysia dan Brunei.
Malaysia berkepentingan atas cadangan 3 miliar barrel minyak dan 75 tcf gas alam sementara Brunei memiliki 1,4 miliar barrel minyak dan 13,8 tcf gas alam.
Sementara Indonesia sangat berkepentingan dengan Laut China Selatan disebabkan China memasukkan Kepulauan Natuna dalam peta tahun 1947 hingga 1995 dalam teritorial ZEE mereka.
Dari sisi perdagangan internasional, Laut China Selatan sangat vital karena merupakan jalur utama menuju kota-kota utama di Asia Timur. Lebih dari 25% dari perdagangan dunia melintasi jalur itu, termasuk 70% kebutuhan energi Jepang dan 65% kebutuhan energi China.
Gangguan terhadap komunikasi,pelayaran dan navigasi di kawasan ini dan berbagai ketegangan yang diakibatkannya akan memberi dampak yang merugikan bagi kepentingan Indonesia dan kestabilan regional.
Seperti Vietnam, Indonesia terganggu dengan ekplorasi migas yang dilakukan perusahaan minyak China (The Chinese National Offshore Oil Company) dan Crestone Energy Company dari Amerika Serikat pada 1992.
Meski eksplorasi tersebut dilakukan di kawasan seluas 25.000 km2 dalam wilayah Nansha di Barat Laut Cina Selatan yang dekat dengan Kepulauan Natuna, namun terdapat dugaan eksplorasi menyasar wilayah Indonesia.
Selain sumber daya alam laut cina selatan, jalur pelayaran juga menjadi latar belakang kuat bagi negara-negara maju untuk menjadikan stabilitas kawasan laut cina selatan sebagai prioritas dalam aktifitas politik luar negerinya. Sebut saja jepang, 80 persen import minyaknya diangkut melalui jalur kawasan laut cina selatan. Amerika juga sangat membutuhkan kawasan ini untuk mendukung mobilitas pasukan militernya dalam melancarkan dominasi globalnya. Selain itu, Amerika juga mempunyai angka kerjasama perdagangan yang tinggi dengan negara-negara di kawasan laut cina selatan. Dengan latar belakang potensi yang begitu besar, maka tidak berlebihan jika kawasan ini menjadi objek perdebatan multilateral.

Persaingan Ekonomi & Militer AS - Cina

Konflik yang terjadi di kawasan Laut Cina Selatan bisa dikatakan adalah proxy war (perang perpanjangan tangan) antara AS dan Cina. Selama ini AS dan Inggris sangat dominan dalam penguasaan ladang minyak di Indonesia. Perusahaan minyak multi-nasional asal Amerika dan Inggris itu dikenal dengan sebutan SEVEN SISTERS, yaitu Shell, British Petroleum, Gulf, Texaco, Exxon Mobil, dan Chevron.
Kehadiran beberapa perusaahaan minyak Cina di Indonesia memang perlu mendapat perhatian khusus. Misalnya PetroChina, CNIIC, dan Sinopee. Ketika perusahaan-perusahaan minyak Cina tersebut masuk ke Indonesia, the Seven Sisters mulai goncang. Perusahaan-perusahaan minyak Cina tersebut masuk ke lokasi sumber minyak dan gas seperti Blok Sukowati di Jawa dan Blok Tangguh di Papua.
Oleh karena itu pemerintah AS dengan serius terus melakukan pendekatan kepada negara-negara ASEAN. Mereka beberapa kali meminta agar konflik perebutan Kawasan Laut Cina Selatan diselesaikan secara diplomatik. Dengan begitu AS akan mendapat dukungan agar pengaruh Cina di kawasan tersebut dapat dibendung atau dikurangi.

Selain persoalan minyak dan gas bumi, AS dan Cina juga tengah bersaing untuk memperkuat hubungan militer mereka dengan negara-negara ASEAN+, yakni Korea Selatan dan Taiwan. Khusus Indonesia, meski AS terus menjalin hubungan dekat dengan Indonesia dalam bidang militer, akan tetapi Cina juga intens melakukan pendekatan kepada pemerintah RI. Oleh karena itu, AS berkepentingan agar pemerintah RI tetap menjadikan AS sebagai satu-satunya mitra atau tepatnya majikan mereka dalam bidang militer, dan tidak beralih ke Cina. Sehingga kekuatan militer di Asia Tenggara dapat terus berada dalam kendali AS.

Sebagai kesimpulan, agenda terselubung yang sebenarnya penting dalam EAS di Bali November ini, adalah desakan AS agar negara-negara ASEAN+ (India, Jepang, Korea Selatan dan Australia) mau bersatu melawan kekuatan Cina dalam persoalan Laut Cina Selatan yang pada akhirnya akan memuluskan penguasaan migas dan memperkokoh militer AS di ASEAN.!!!

0 komentar:

Posting Komentar