21 Agustus 2009 lalu sebuah Sumur Minyak Blok Montara, Atlas Barat, Australia Barat yang
dioperasikan PTTEP Australasia, sebuah perusahaan pengeboran minyak asal
Thailand meledak dan menumpahkan sekira 2.000 barel minyak mentah
bercampur kondensat perhari.
Petaka ini berlangsung lebih kurang 86 hari, dimana pihak PTTEP Australasia baru berhasil menghentikan kebocoran itu pada November 2009, dan kebocoran itu diperkirakan mencemari perairan Indonesia di Laut Timor (NTT) sekira 90.000 meter persegi.
Adalah Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) bersama jaringan dan aliansinya yang berhasil membuktikan bahwa Laut Timor tercemar dengan mengirimkan bukti pencemaran itu ke Komisi Penyelidik Australia. Sementara Pemerintah Indonesia baru bergerak setelah diberitahu otoritas keamanan laut Australia, AMSA. Sudah diberitahu pun, Indonesia tidak segera bereaksi, tapi lebih mengedepankan mekanisme birokrasi.
Berlarut-larut pemerintah menyikapi ini, membuat penyelesaian masalah ini pun terkatung-katung, bahkan makin tak jelas. Padahal Presiden SBY sendiri sudah memerintahkan Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (Timnas PKDTML) yang dipimpin Freddy Numberi (Menhub) untuk menuntaskan masalah ini, namun tetap saja tak jelas.
Langkah negosiasi yang dilakukan Tim Advokasi bentukan Timnas PKDTML pun terus ditarik-ulur, tak jelas kapan penyelesaiannya. Terakhir, Ketua Tim Advokasi, Masnelyarti Hilman menyatakan penandatanganan MoU dengan PTTEP Australasia dilakukan di Jakarta, 3 Agustus 2011. Hasilnya nihil.
Berbeda dengan petaka tumpahan minyak di Teluk Alaska, Mexico yang mencemari perairan Amerika yang terjadi jauh sesudah tumpahan minyak di Laut Timor sudah dituntaskan klaimnya oleh Presiden Barack Obama. Indonesia memang bukan Amerika, begitupun Presiden SBY bukanlah Barack Obama.
Namun, mestinya sikap untuk menuntut klaim atas pencemaran tersebut harus tegas. Akibat pemerintah RI tak tegas, kini rakyat NTT seperti termajinalkan. Pasalnya petaka pencemaran laut Timor itu tepat 21 Agustus 2011 berulang tahu yang kedua. Persoalannya masih sama, lagu lama yang dibunyikan, yakni proses negosiasi menunggu pihak PTTEP.
YPTB sebagai lembaga yang tak henti-hentinya berjuang mempertahankan martabat rakyat NTT khususnya di Timor Barat terus bertanya, sejauh mana keseriusan pemerintah. Bahkan YPTB mengancam membawa kasus ini ke pengadilan internasional atau pengadilan Australia.
Ancaman YPTB ini tak main-main, karena saat ini, Ferdi Tanoni selaku Ketua YPTB telah bekerja keras bersama jaringan dan aliansinya untuk mewujudkan gugatan itu. Dasar gugatannya jelas, ribuan komunitas nelayan dan petani rumput laut di NTT seperti di Pulau Timor, Rote Ndao, Sabu Raijua, Sumba, Alor, Lembata dan Flores kini merana akibat usaha yang mereka geluti selama ini dari laut menurun terus hasilnya.
Dari laporan masyarakat pesisir bahwa dalam waktu hanya dua minggu setelah ledakan sumur minyak Montara mulai bergelimpangan ikan mati, diantaranya ikan hiu dan lumba-lumba. Rumput laut yang dibudidayakan seminggu kemudian mulai mati, hasil penangkapan ikan komersial anjlok drastis hingga 80 persen.
Masyarakat pesisir tidak tahu apa yang telah menimpa mereka. Kebanyakan keluarga hanya pasrah menerima keadaan yang membuat mereka hanya cukup untuk bertahan hidup dan mengirim anak-anak mereka ke sekolah. Berbulan-bulan orang-orang yang mampu, mengepak tas mereka dan pindah ke tempat lain untuk mengadu nasib dengan harapan kehidupan mereka akan lebih baik di tempat yang baru.
Sayangnya kebanyakan dari mereka tertinggal di belakang dan sekarang sudah dua tahun, nasib mereka tidak berubah. Rakyat Nusa Tengara Timur yang senang sekali melalut, sakit dan marah karena tidak ada pihak yang mau bertanggung jawab atau melakukan sesuatu hal untuk membantu mereka agar anak-anak mereka dapat kembali di sekolah sebagaimana sediakala atau menempatkan makanan pada piring-piring mereka di atas meja.
Setidaknya sudah 12 orang meninggal dunia akibat makan ikan beracun, kemungkinan peningkatan angka kematian anak dan beragam penyakit bermunculan bisa saja telah terjadi saat ini namun tidak pernah ada kepedulian untuk melakukan pendataan.
YPTB mencoba mengetuk hati Pemerintah RI. Apakah karena NTT adalah sebuah provinsi minoritas di Indonesia yang jauh dari pusat kekuasaan sehingga Pemerintah tidak peduli untuk menuntut Pemerintah Australia? Atau sebaliknya karena Pemerintah Australia akan malu jika mengakui penyemprotan bubuk kimia beracun untuk menenggelamkan tumpahan minyak ke dasar laut yang sekarang telah membunuh ratusan ribu tetangga mereka, atau karena perusahaan minyak adalah bagian dari monopoli uang berperasaan menyambar dan lebih suka menutup mata untuk membayar dosa-dosa mereka?
Orang-orang Timor membutuhkan bantuan anda untuk agar mereka tidak dilupakan. Sayangnya, yang terburuk mungkin masih akan terjadi. Jika upaya bantuan besar tidak segera tiba, situasi bisa berubah lebih kacau dan tragis dan banyak orang akan semakin putus asa.
Bergabunglah mendukung Yayasan Peduli Timor Barat, hanya satu-satunya organisasi yang selama ini mewakili rakyat dan akan terus berdiri tegak hingga perusahaan pencemar laut Timor PTTEP Australasia, pemerintah Indonesia dan Australia, mau bertanggung jawab. Ini bukanlah sebuah amal, ini adalah sebuah tindakan untuk keadilan.
"Seperti Nelson Mandela mengatakan" hak asasi manusia dan keadilan telah dilanggar setiap hari. Orang-orang didiskriminasi dan mati secara tidak manusiawi dan tidak bermoral dan selama kemiskinan dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya terus mengambil alih kehidupan generasi sekarang dan masa depan, hanya akan memperburuk siatuasi.
Orang tidak harus dirampok martabat dan kebutuhan dasarnya, dan menempatkan mereka dalam situasi tak terhindarkan dari hidup. Dalam kekayaan,kemajuan teknologi, materialisme berlebihan, dan mewah, saatnya kita harus mengakui dan bertanggung jawab untuk masalah internasional seperti ini".
Petaka ini berlangsung lebih kurang 86 hari, dimana pihak PTTEP Australasia baru berhasil menghentikan kebocoran itu pada November 2009, dan kebocoran itu diperkirakan mencemari perairan Indonesia di Laut Timor (NTT) sekira 90.000 meter persegi.
Adalah Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) bersama jaringan dan aliansinya yang berhasil membuktikan bahwa Laut Timor tercemar dengan mengirimkan bukti pencemaran itu ke Komisi Penyelidik Australia. Sementara Pemerintah Indonesia baru bergerak setelah diberitahu otoritas keamanan laut Australia, AMSA. Sudah diberitahu pun, Indonesia tidak segera bereaksi, tapi lebih mengedepankan mekanisme birokrasi.
Berlarut-larut pemerintah menyikapi ini, membuat penyelesaian masalah ini pun terkatung-katung, bahkan makin tak jelas. Padahal Presiden SBY sendiri sudah memerintahkan Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (Timnas PKDTML) yang dipimpin Freddy Numberi (Menhub) untuk menuntaskan masalah ini, namun tetap saja tak jelas.
Langkah negosiasi yang dilakukan Tim Advokasi bentukan Timnas PKDTML pun terus ditarik-ulur, tak jelas kapan penyelesaiannya. Terakhir, Ketua Tim Advokasi, Masnelyarti Hilman menyatakan penandatanganan MoU dengan PTTEP Australasia dilakukan di Jakarta, 3 Agustus 2011. Hasilnya nihil.
Berbeda dengan petaka tumpahan minyak di Teluk Alaska, Mexico yang mencemari perairan Amerika yang terjadi jauh sesudah tumpahan minyak di Laut Timor sudah dituntaskan klaimnya oleh Presiden Barack Obama. Indonesia memang bukan Amerika, begitupun Presiden SBY bukanlah Barack Obama.
Namun, mestinya sikap untuk menuntut klaim atas pencemaran tersebut harus tegas. Akibat pemerintah RI tak tegas, kini rakyat NTT seperti termajinalkan. Pasalnya petaka pencemaran laut Timor itu tepat 21 Agustus 2011 berulang tahu yang kedua. Persoalannya masih sama, lagu lama yang dibunyikan, yakni proses negosiasi menunggu pihak PTTEP.
YPTB sebagai lembaga yang tak henti-hentinya berjuang mempertahankan martabat rakyat NTT khususnya di Timor Barat terus bertanya, sejauh mana keseriusan pemerintah. Bahkan YPTB mengancam membawa kasus ini ke pengadilan internasional atau pengadilan Australia.
Ancaman YPTB ini tak main-main, karena saat ini, Ferdi Tanoni selaku Ketua YPTB telah bekerja keras bersama jaringan dan aliansinya untuk mewujudkan gugatan itu. Dasar gugatannya jelas, ribuan komunitas nelayan dan petani rumput laut di NTT seperti di Pulau Timor, Rote Ndao, Sabu Raijua, Sumba, Alor, Lembata dan Flores kini merana akibat usaha yang mereka geluti selama ini dari laut menurun terus hasilnya.
Dari laporan masyarakat pesisir bahwa dalam waktu hanya dua minggu setelah ledakan sumur minyak Montara mulai bergelimpangan ikan mati, diantaranya ikan hiu dan lumba-lumba. Rumput laut yang dibudidayakan seminggu kemudian mulai mati, hasil penangkapan ikan komersial anjlok drastis hingga 80 persen.
Masyarakat pesisir tidak tahu apa yang telah menimpa mereka. Kebanyakan keluarga hanya pasrah menerima keadaan yang membuat mereka hanya cukup untuk bertahan hidup dan mengirim anak-anak mereka ke sekolah. Berbulan-bulan orang-orang yang mampu, mengepak tas mereka dan pindah ke tempat lain untuk mengadu nasib dengan harapan kehidupan mereka akan lebih baik di tempat yang baru.
Sayangnya kebanyakan dari mereka tertinggal di belakang dan sekarang sudah dua tahun, nasib mereka tidak berubah. Rakyat Nusa Tengara Timur yang senang sekali melalut, sakit dan marah karena tidak ada pihak yang mau bertanggung jawab atau melakukan sesuatu hal untuk membantu mereka agar anak-anak mereka dapat kembali di sekolah sebagaimana sediakala atau menempatkan makanan pada piring-piring mereka di atas meja.
Setidaknya sudah 12 orang meninggal dunia akibat makan ikan beracun, kemungkinan peningkatan angka kematian anak dan beragam penyakit bermunculan bisa saja telah terjadi saat ini namun tidak pernah ada kepedulian untuk melakukan pendataan.
YPTB mencoba mengetuk hati Pemerintah RI. Apakah karena NTT adalah sebuah provinsi minoritas di Indonesia yang jauh dari pusat kekuasaan sehingga Pemerintah tidak peduli untuk menuntut Pemerintah Australia? Atau sebaliknya karena Pemerintah Australia akan malu jika mengakui penyemprotan bubuk kimia beracun untuk menenggelamkan tumpahan minyak ke dasar laut yang sekarang telah membunuh ratusan ribu tetangga mereka, atau karena perusahaan minyak adalah bagian dari monopoli uang berperasaan menyambar dan lebih suka menutup mata untuk membayar dosa-dosa mereka?
Orang-orang Timor membutuhkan bantuan anda untuk agar mereka tidak dilupakan. Sayangnya, yang terburuk mungkin masih akan terjadi. Jika upaya bantuan besar tidak segera tiba, situasi bisa berubah lebih kacau dan tragis dan banyak orang akan semakin putus asa.
Bergabunglah mendukung Yayasan Peduli Timor Barat, hanya satu-satunya organisasi yang selama ini mewakili rakyat dan akan terus berdiri tegak hingga perusahaan pencemar laut Timor PTTEP Australasia, pemerintah Indonesia dan Australia, mau bertanggung jawab. Ini bukanlah sebuah amal, ini adalah sebuah tindakan untuk keadilan.
"Seperti Nelson Mandela mengatakan" hak asasi manusia dan keadilan telah dilanggar setiap hari. Orang-orang didiskriminasi dan mati secara tidak manusiawi dan tidak bermoral dan selama kemiskinan dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya terus mengambil alih kehidupan generasi sekarang dan masa depan, hanya akan memperburuk siatuasi.
Orang tidak harus dirampok martabat dan kebutuhan dasarnya, dan menempatkan mereka dalam situasi tak terhindarkan dari hidup. Dalam kekayaan,kemajuan teknologi, materialisme berlebihan, dan mewah, saatnya kita harus mengakui dan bertanggung jawab untuk masalah internasional seperti ini".
0 komentar:
Posting Komentar