Pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Malaysia sepakat untuk menyelesaikan berbagai masalah menyangkut nelayan tradisional yang tersesat di perairan kedua negara. Kesepakatan ini dicapai usai kedua negara menandatangani NOTA KESEPAHAMAN (MoU) Common Guidelines Concerning Treatment of Fishermen by Maritime Law Enforcement Agencies akhir pekan ini di Bali. "Penandatangan nota kesepahaman ini merupakan terobosan baru dalam penanganan sengketa nelayan kedua negara yang sering terjadi beberapa tahun terakhir", ucap Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif C. Sutardjo yang turut hadir mendampingi Menko Polhukam dalam penandatangan ini.
Lebih lanjut Sharif menyebut bahwa selama tahun 2011, sebanyak 19 kapal nelayan Indonesia berukuran kurang dari 10 GT ditangkap Pemerintah Malaysia. Dari jumlah kapal tersebut, sebanyak 52 nelayan dari 93 nelayan yang ditangkap telah berhasil di bebaskan melalui advokasi yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dengan dilakukan Nota Kesepahaman ini, Sharif berharap nelayan yang masih berada di Malaysia segera dibebaskan dan kejadian serupa tidak kembali terulang di masa mendatang.
Dalam nota kesepahaman ini, kedua negara sepakat untuk membebaskan nelayan tradisional -berukuran kurang dari 10 gross tonage (GT)- yang tersesat di perairan kedua negara. Selain itu, masalah ini akan diselesaikan melalui jalur diplomasi dan perundingan dengan menjunjung tinggi asas kesetaraan dan saling menghormati agar tidak terjadi kesalahpahaman yang tidak perlu di antara kedua negara. Kedua negara berupaya untuk menghormati traditional fishing right sebagaimana termuat dalam UNCLOS 1982. "Kedua negara berkomitmen untuk zero conflict," kata Ketua Pelaksana Harian Badan Kordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla), Laksamana Madya Didik Heru Purnomo.
Indonesia ingin penyelesaian permasalahan yang menyangkut nelayan secara damai melalui nota kesepahaman ini. Pedoman tersebut, dilatarbelakangi kesepakatan antara Menteri Luar Negeri Indonesia dan Malaysia pada 20 Oktober 2011 di Lombok. Setelah itu diperkuat dengan pertemuan antara Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono dengan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak dalam KTT ASEAN di penghujung tahun lalu di Bali.
Kedua pemimpin negara menengaskan bahwa penanganan di Selat Malaka dan Laut China Selatan sera sebagian Selat Makassar untuk masyarakat bukan untuk konflik. Patroli kita dan Malaysia saling mengingatkan pada masing-masing tidak ada konflik senjata. Penandatangan nota kesepahaman ini merupakan mandat kedua pemimpin negara antara Indonesia dan Malaysia. "Pelaksanaan dari nota kesepahaman itu, yakni apabila terdapat nelayan yang masuk ke wilayah negara lain baik itu dari Malaysia dan Indonesia di daerah perbatasan seperti Selat Malaka, Laut China Selatan dan dekat Ambalat," tutur Didik.
Kedua negara sepakat untuk membantu kapal tradisional yang tersesat untuk kembali ke perairan negara masing-masing dan tidak menangkap dan menjatuhi hukuman kepada nelayan tradisional, kecuali untuk kapal-kapal yang melakukan illegal fishing dan menggunakan bahan-bahan peledak dan kimia. Sehingga apabila ada nelayan-nelayan Indonesia masuk ke Malaysia tidak ditangkap, tapi diusir untuk balik ke Indonesia dan begitu pula sebaliknya sehingga tidak terjadi konflik", sambung Sharif.
Kementerian Kelautan dan Perikanan mengkategorikan nelayan tradisional adalah nelayan yang menggunakan kapal dengan berat 5 hingga 10 GT. Penandatangan nota kesepahaman ini diwakili oleh Kepala Pelaksana Harian Badan Kordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla), Laksamana Madya Y Didik Heru Purnomo dari Indonesia, sedangkan Malaysia diwakili oleh Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Datuk Abdul Wahab Mohamed Thajudeen, dan disaksikan oleh Menko Polhukan, Joko Suyanto dan Menteri Senior Bidang Judicial Review Malaysia, Datuk Seri Muhamed Nazri Bin Abdul Aziz.
Kedua negara berkeinginan untuk membangun pedoman umum untuk saling menghormati hukum maritim dari masing-masing negara. Sebelumnya, BAKORKAMLA dengan Majelis Keselamatan Negara Malaysia telah melaksanakan serangkaian pertemuan kedua belah pihak di antaranya, di Jakarta pada 30 November 2011 lalu dan di pertemuan terakhir di Kuala Lumpur pada tanggal 7 Januari 2012.
Kedua belah pihak telah berhasil menyepakati sebuah draft command dateline (prinsip-prinsip utama) dan isu-isu pokok dalam pedoman yang meliputi untuk memprioritaskan untuk membina hubungan yang baik, kerja sama yang erat dan saling pengertian antar kedua negara, setiap tindakan yang berlandaskan hukum maritim masing-masing negara harus sebisa mungkin menghindari kekerasan.
Lebih lanjut, kedua negara sepakat dalam upaya mengawasi, evaluasi dan meninjau diperlukan kehadiran lembaga penegak hukum maritim yang berada di laut, seperti Keamanan Laut Badan Koordinasi (IMSCB / Bakorkamla) dan TNI AL, Kepolisian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, dari sisi Indonesia kemudian dari pihak Malaysia meliputi Maritime Enforcement Agency Malaysia (MMEA), Royal Navy Malaysia, Royal Air Force Malaysia, Kerajaan Malaysia Kepolisian, Departemen Perikanan dan Royal Bea Cukai Malaysia.
Sumber : antaranews.com
Lebih lanjut Sharif menyebut bahwa selama tahun 2011, sebanyak 19 kapal nelayan Indonesia berukuran kurang dari 10 GT ditangkap Pemerintah Malaysia. Dari jumlah kapal tersebut, sebanyak 52 nelayan dari 93 nelayan yang ditangkap telah berhasil di bebaskan melalui advokasi yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dengan dilakukan Nota Kesepahaman ini, Sharif berharap nelayan yang masih berada di Malaysia segera dibebaskan dan kejadian serupa tidak kembali terulang di masa mendatang.
Dalam nota kesepahaman ini, kedua negara sepakat untuk membebaskan nelayan tradisional -berukuran kurang dari 10 gross tonage (GT)- yang tersesat di perairan kedua negara. Selain itu, masalah ini akan diselesaikan melalui jalur diplomasi dan perundingan dengan menjunjung tinggi asas kesetaraan dan saling menghormati agar tidak terjadi kesalahpahaman yang tidak perlu di antara kedua negara. Kedua negara berupaya untuk menghormati traditional fishing right sebagaimana termuat dalam UNCLOS 1982. "Kedua negara berkomitmen untuk zero conflict," kata Ketua Pelaksana Harian Badan Kordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla), Laksamana Madya Didik Heru Purnomo.
Indonesia ingin penyelesaian permasalahan yang menyangkut nelayan secara damai melalui nota kesepahaman ini. Pedoman tersebut, dilatarbelakangi kesepakatan antara Menteri Luar Negeri Indonesia dan Malaysia pada 20 Oktober 2011 di Lombok. Setelah itu diperkuat dengan pertemuan antara Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono dengan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak dalam KTT ASEAN di penghujung tahun lalu di Bali.
Kedua pemimpin negara menengaskan bahwa penanganan di Selat Malaka dan Laut China Selatan sera sebagian Selat Makassar untuk masyarakat bukan untuk konflik. Patroli kita dan Malaysia saling mengingatkan pada masing-masing tidak ada konflik senjata. Penandatangan nota kesepahaman ini merupakan mandat kedua pemimpin negara antara Indonesia dan Malaysia. "Pelaksanaan dari nota kesepahaman itu, yakni apabila terdapat nelayan yang masuk ke wilayah negara lain baik itu dari Malaysia dan Indonesia di daerah perbatasan seperti Selat Malaka, Laut China Selatan dan dekat Ambalat," tutur Didik.
Kedua negara sepakat untuk membantu kapal tradisional yang tersesat untuk kembali ke perairan negara masing-masing dan tidak menangkap dan menjatuhi hukuman kepada nelayan tradisional, kecuali untuk kapal-kapal yang melakukan illegal fishing dan menggunakan bahan-bahan peledak dan kimia. Sehingga apabila ada nelayan-nelayan Indonesia masuk ke Malaysia tidak ditangkap, tapi diusir untuk balik ke Indonesia dan begitu pula sebaliknya sehingga tidak terjadi konflik", sambung Sharif.
Kementerian Kelautan dan Perikanan mengkategorikan nelayan tradisional adalah nelayan yang menggunakan kapal dengan berat 5 hingga 10 GT. Penandatangan nota kesepahaman ini diwakili oleh Kepala Pelaksana Harian Badan Kordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla), Laksamana Madya Y Didik Heru Purnomo dari Indonesia, sedangkan Malaysia diwakili oleh Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Datuk Abdul Wahab Mohamed Thajudeen, dan disaksikan oleh Menko Polhukan, Joko Suyanto dan Menteri Senior Bidang Judicial Review Malaysia, Datuk Seri Muhamed Nazri Bin Abdul Aziz.
Kedua negara berkeinginan untuk membangun pedoman umum untuk saling menghormati hukum maritim dari masing-masing negara. Sebelumnya, BAKORKAMLA dengan Majelis Keselamatan Negara Malaysia telah melaksanakan serangkaian pertemuan kedua belah pihak di antaranya, di Jakarta pada 30 November 2011 lalu dan di pertemuan terakhir di Kuala Lumpur pada tanggal 7 Januari 2012.
Kedua belah pihak telah berhasil menyepakati sebuah draft command dateline (prinsip-prinsip utama) dan isu-isu pokok dalam pedoman yang meliputi untuk memprioritaskan untuk membina hubungan yang baik, kerja sama yang erat dan saling pengertian antar kedua negara, setiap tindakan yang berlandaskan hukum maritim masing-masing negara harus sebisa mungkin menghindari kekerasan.
Lebih lanjut, kedua negara sepakat dalam upaya mengawasi, evaluasi dan meninjau diperlukan kehadiran lembaga penegak hukum maritim yang berada di laut, seperti Keamanan Laut Badan Koordinasi (IMSCB / Bakorkamla) dan TNI AL, Kepolisian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, dari sisi Indonesia kemudian dari pihak Malaysia meliputi Maritime Enforcement Agency Malaysia (MMEA), Royal Navy Malaysia, Royal Air Force Malaysia, Kerajaan Malaysia Kepolisian, Departemen Perikanan dan Royal Bea Cukai Malaysia.
Sumber : antaranews.com
0 komentar:
Posting Komentar